QS Al-Baqarah ayat 183 menyebutkan "Yā ayyuhallażīna āmanụ kutiba 'alaikumuṣ-ṣiyāmu kamā kutiba 'alallażīna ming qablikum la'allakum tattaqụn" (Hai orang-orang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan kepada kepada orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa).
Dalam ayat yang menjadi dasar pelaksanaan puasa Ramadan ini ada kalimat “orang-orang sebelum kamu”, ini artinya sebelum umat Muhammad (umat Islam) telah ada umat lain yang mendapat perintah menjalankan puasa. Dengan kata lain, ritual puasa telah dijalankan oleh umat lain sebelum umat Nabi Muhammad.
Secara antropologis-historis, ritual puasa memang dilakukan semua umat manusia yang percaya pada Tuhan sebagai prosesi pencucian jiwa untuk memperkuat kepekaan spiritual agar dapat mendekat pada Tuhan dan menangkap kasih-Nya.
Di kalangan masyarakat Timur Tengah, tradisi puasa telah dilakukan oleh kaum Yahudi, Nasrani dan penganut Syabi’ah. Ritual puasa umat Nasrani di Jazirah Arab pra Islam adalah menghindari makan daging, susu dan telur selama 50 hari. Biasanya dimulai hari Senin. Menurut Ibn an-Nadin, sebagaimana dikutip Ali Al-Khatib, para penganut Shabi’ah melaksanakan puasa selama 30 hari berturut-turut dan dilanjutkan dengan hari Raya (yaumul ‘Id). Selain itu, tradisi Shabi’ah juga menganjurkan puasa di hari lain (1980: 89, C. Blair, 1925: 109).
Umat Yahudi memilki tradisi puasa hari Asyura disebut juga dengan puasa hari Kipur atau hari ampunan. Puasa sehari ini dilaksanakan mulai matahari terbenam tanggal 9 bulan pertama dari tahun Ibrani sampai sekitar 15 menit setelah matahari terbenam tanggal 10. Jadi waktu puasa sekitar 24 jam 15 menit. Selama berpuasa tidak boleh makan, minum dan bersetubuh. Puasa Asyura merupakan puasa wajib bagi umat Yahudi, selain itu ada puasa sunnah yang dapat dilaksanakan pada hari-hari lain.
Data sejarah ini menunjukkan bahwa, Al-Qur’an mengakui berbagai tradisi dan ritual keagamaan umat sebelumnya kemudian melakukan penyesuaian baik dari segi waktu maupun formatnya. Di sini terlihat, Al-Qur’an tidak melakukan penghancuran atas tradisi dan ritual keagamaan yang dilakuka oleh umat-umat sebelumnya (sebelum eranya Nabi Muhammad), tetapi melakukan rekonstruksi dan adaptasi terhadap tradisi, ritual keagamaan dan kearifan lokal yang ada sebelumnya. Metode qur’ani (melakukan rekonstruksi terhadap tradisi dan kearifan lokal) inilah yang diterapkan para ulama Nusantara ketika menyebarkan ajaran Islam di Nusantara.
Sebagaimana halnya masyarakat Timur Tengah, upacara pensucian jiwa melalui ritual puasa ini juga dilakukan oleh masyarakat Nusantara. Dalam kepercayaan masyarakat Nusantara, puasa tidak saja merupakan ritual ibadah, tetapi juga menjadi laku spiritual untuk memperoleh kekuatan dan macapai hajat tertentu, seperti membuat pusaka, menguasai ilmu, mengambil keputusan rumit dan penting.
Tradisi puasa di kalangan masyarakat Jawa berpuasa merupakan bagian dari laku topobroto atau tirakat yang merupakan laku utama untuk mencapai karesian dan kadewaguruan. Artinya seseorang yang ingin mencapai taraf resi dan dewaguru harus melakukan tirakat topobroto dengan berpuasa. Dalam kepercayaan Jawa kuno terdapat ajaran catur asrama yaitu empat fase kehidupan sebelum mencapai moksa. Semua tahapan fase ini dilalui dengan melakukan tirakat dan puasa, mulai dari taraf ringan, meninggalkan makan minum, sampai meninggalkan hingar bingar dunia menuju kesunyian. Intinya, puasa sebagai bagian dari laku tirakat adalah pengendalaian nafsu.
Konsep pengendalian hawa nafsu dalam tapabrata atau puasa ini juga terdapat dalam Kakawin Arjunawiwaha karya mpu Kanwa yang ditulis era Airlangga, raja Kahuripan, pada awal abad ke-11. Dalam kakawin tersebut dinyatakan mustahil doa seseorang kepada Tuhan untuk hidup bahagia dan sejahtera akan terkabul jika tidak pernah melakukan ¬brata-tapa-yoga (berpuasa). Orang yang tidak pernah berpuasa bukannya terkabul doanya, tetapi justru akan menerima penderitaan dan sakit hati.
Tradisi puasa juga ada dalam masyarakat Bugis. Sebelum Islam masuk, orang Bugis telah memiliki tradisi puasa. Bagi masyarakat Bugis, berpuasa merupakan ritual pensuciaan diri dengan menghilangkan pikiran duniawi untuk mencapai kedekatan pada Tuhan. Agar mencapai tujuan tersebut diperlukan kemampuan menahan nafsu dan godaan duniawi yang disebut ma’pereng. Orang yang melakukan ma’pereng akan terlihat hebat karena dianggap memiliki kekuatan lebih dari yang lain. Dalam tradisi Bugis tradisi puasa biasanya dilakukan oleh orang-orang yang disegani seperti bissu, raja dan pembuat pustaka (pujangga). Ritual puasa ini ada pada suku-suku dan penganut kepercayaan lokal lainnya di seluruh Nusantara dengan berbagai format dan nama yang berbeda. Tidak hanya masyarakat adat dan pemeluk agama lokal, tradisi puasa Nusantara juga ada dalam agama-agama yang datang dari luar seperti Hindu dan Buddha.
Dalam ajaran agama Buddha, ritual puasa dikenal dengan Uposatha. Ritual ini biasanya dilaksanakan dilaksanakan dua kali dalam setiap bulan menurut perhitungan kalender Buddhis yang berdasarkan peredaran bulan, yaitu saat buan terang (purnama) dan gelap (awal atau akhir bulan). Ritual puasa umat Buddha berdasar pada aturan uposatha-sila (aturan yang berjumah delapan) yaitu tidak membunuh, tidak mencuri, tidak melakukan kegiatan seksual, tidak berbohong, tidak makan pada siang hari hingga dini hari, tidak menonton hiburan dan tidak memakai kosmetik, parfum dan perhiasan.
Dalam kepercayaan agama Hindu, puasa disebut dengan upawasa. Ada beberapa jenis upawasa dalam agama Hindu, di antaranya Upawasa Siwa Ratri yaitu puasa menghindari makan daan minum dari matahari terbit hingga terbenam. Ini merupakan puasa wajib bagi umat Hindu. Ada juga puasa Nyepi, yaitu mencegah makan dan minum sejak fajar hinngga fajar hari berikutnya. Puasa ini biasanya dilakukan pada hari Nyepi. Puasa lainnya yang dilakukan oleh umat Hindu adalah puasa untuk menebus dosa, puasa tilem dan purnama.
Sebelum Islam masuk, bangsa Nusantara telah memiliki berbagai ritual dan adat berpuasa yang sarat dengan nilai-nilai kearifan lokal bangsa. Oleh para para ulama Nusantara, tadisi berpuasa ini dijadikan sebagai sarana untuk menanamkan dan mengimplementasikan ajaran Islam. Menggunakan metode qur’ani sebagaaimana tersebut dalam QS Al-Baqarah ayat 183, para wali dan ulama Nusantara melakukan rekonstruksi tradisi untuk mengamalkan ibadah puasa. Mereka tidak merusak dan menolak tradisi lokal Nusantara yag sudah ada, tetapi menggunakannya untuk mengamalkan ajaran Islam sambil melakukan penyesuaian seperlunya.
Dari proses rekonstruksi tradisi ini lahir beberapa tradisi yang terkait dengan dengan ibadah puasa Ramadhan di Nusantara. Misanya tradisi Meugang di Riau yaitu gotong royong memotong kerbau dan kambing untuk dimakan bersama menyambut Ramadhan. Tradisi suru macca di Bugis-Makasar, yaitu membaca doa bersama untuk arwah para leluhur jelang Ramadhan. Tradisi Munggahan di Sunda, nyadran di Jawa, Malemang di masyarakat Melayu, mudik, buka bersama dan berbagai ragam tradisi yang ada di suku-suku saat ramadhan.
Ada tiga hal penting dapat dicatat dari rekonstruksi tradisi-tradisi ulama Nusantara, pertama ajaran Islam menjadi mudah diterima dan diamalkan oleh masyarakat Nusantara. Penyebaran Islam di bumi Nusantara yang mandeg (sulit diterima masyarakat) selama 8 abad dapat mencair dan ditembus melalui strategi ini. Hanya dalam waktu kurang dari setengah abad Islam dapat diterima dan berkebang di Nusantara. Kedua, khazanah kebudayaan Nusantara; adat tradisi, ritual dan nilai dapat terpelihara dengan baik dan dapat hidup berdampingan dengan Islam karena dapat menjadi sarana efektif untuk penyebatan Islam. Ketiga, rekontruksi tradisis yang dilakukan oleh para ulama Nusantara telah melahirkan berbagai ragam tradisi baru yang membuat wajah dan karakter Islam Nusatara menjadi khas dan berbeda.
Rekonstruksi tradisi puasa yang dilakukan para ulama Nusantara merupakan bentuk dari kreativitas simbolik (Jean Baudrillard, 2001), yaitu kreasi yang diberi muatan nilai tertentu dengan tujuan agar dapat dipahami sang komunikan (khalayak yang diajak berkomunikasi) dalam hal ini adalah masyarakat Nusantara. Para ulama Nusantara telah menjadikan bulan Ramadan sebagai momentum munculnya kreativitas simbolik yang memunculkan berbagai bentuk ritual dan tradisi ramadan sebagai manifestasi kearifan lokal Nusantara.
Apa yang dilakukan oleh para ulama Nusantara mestinya dijadikan rujukan oleh bangsa Indonesia dalam beragama. Karena cara-cara beragama yang kreatif seperti ini yang diperlukan oleh bangsa Indonesia yang beragam. Apa yang dilakukan para ulama Nusantara kiranya dapat menjadi sumber inspirasi bagi bangsa Indonesia dalam menghadapi berbagai tekanan dan tantangan perubahan saat ini.