Di tengah hiruk-pikuk isu global tentang dampak krisis iklim, ada para pegiat kecil yang bekerja tanpa pamrih untuk menjaga keseimbangan bumi. Di antaranya adalah lebah-lebah tak bersengat (stingless bees), yang di banyak daerah disebut kelulut atau trigona. Kecil, rapuh, bahkan tak memiliki sengat untuk melindungi diri, namun mereka adalah pekerja ekosistem yang luar biasa penting.
Lebah, baik yang bersengat maupun tidak, sama-sama berperan sebagai penyerbuk. Lebah madu seperti Apis mellifera atau Apis cerana penting bagi pertanian dan memastikan ketersediaan pangan dunia. Sementara lebah tak bersengat sering kali mengunjungi bunga-bunga kecil di hutan tropis, vegetasi liar, dan ekosistem pesisir yang tidak selalu dijangkau lebah madu. Dengan demikian, keduanya saling melengkapi.
Sayangnya, koloni lebah semakin terdesak. Deforestasi, polusi, degradasi lahan, dan perubahan iklim mempersempit ruang hidup mereka. Suhu ekstrem dan curah hujan tak menentu membuat koloni mudah melemah. Kehilangan mereka bukan sekadar kehilangan sumber madu, melainkan juga hilangnya penopang keseimbangan ekosistem.
Mengapa lebah penting dalam diskursus perubahan iklim? Karena setiap kali mereka menyerbuki bunga, tumbuhan bisa tumbuh subur dan menyerap karbon dari atmosfer. Hutan dan kebun yang sehat adalah penyerap karbon alami—benteng pertahanan terhadap emisi gas rumah kaca yang terus meningkat dan penyebab krisis iklim. Menurunnya populasi lebah berarti hilangnya mekanisme alamiah untuk memperkuat daya serap karbon. Inilah mengapa melindungi lebah sama pentingnya dengan melindungi hutan.
Di Indonesia, sejumlah inisiatif mulai mengembangkan budidaya lebah tak bersengat sebagai bagian dari ekonomi hijau. Salah satunya dilakukan oleh Onesta, sebuah usaha sosial yang menggabungkan konservasi, ilmu pengetahuan, dan pemberdayaan masyarakat sekitar hutan.
Mereka mengelola madu dari spesies Heterotrigona itama yang hanya menghasilkan sekitar satu hingga dua kilogram madu per koloni per tahun, tergantung kondisi iklim, ketersediaan bunga dan kesehatan koloni. Namun kualitasnya tinggi: encer, sedikit asam, dan kaya enzim alami hasil fermentasi di pot madu yang tertutup sempurna.
Madu berkualitas tinggi hanya dapat diperoleh dari pot madu yang telah tertutup sempurna oleh lebah, tanda bahwa proses fermentasi alami telah selesai. Madu semacam ini disebut ripe honey—raw, natural, pure, ripe. Kandungan enzimnya stabil, rasanya kompleks, dan tidak memerlukan perlakuan tambahan.
Sebaliknya, madu yang dipanen sebelum waktunya kehilangan sebagian besar manfaat biologisnya, sementara madu campuran atau palsu bahkan tidak seharusnya disebut madu. Fakta bahwa sebagian besar madu di dunia tidak murni menunjukkan bahwa kejujuran ekologis adalah isu serius, bukan sekadar persoalan rasa.
Madu yang dihasilkan diperoleh melalui praktik budidaya lebah mungil yang bertanggung jawab dan regeneratif tidak hanya menekankan keberlanjutan, tetapi juga secara aktif melindungi hutan tropis dan keanekaragaman hayati di sekitarnya.
Idealnya, sarang-sarang kelulut ditempatkan di area berhutan alami, sementara petani didorong untuk menanam pohon nektar dan membangun micro forest di sekitar lokasi budidaya. Di beberapa kawasan pesisir, sarang dapat diletakkan di area mangrove —kontribusi kecil yang mendukung konservasi karbon biru (blue carbon).
Melalui sistem keterlacakan digital (traceability) dan prinsip from hive to bottle, misalnya, setiap botol madu Onesta dapat ditelusuri asalnya—dari lokasi sarang, waktu panen, hingga hasil uji laboratorium. Pendekatan ini memastikan bahwa madu yang sampai ke tangan konsumen benar-benar alami, matang, dan transparan dalam prosesnya.
Pelestarian lebah tak bersengat dan penerapan praktik transparan bukan hanya inovasi bisnis, melainkan bagian dari upaya mitigasi iklim dan pendidikan ekologi. Lebah kecil seperti Heterotrigona itama menjadi pengingat bahwa kualitas sejati tidak dapat dipisahkan dari keseimbangan alam yang menjaganya.
Lebah mengajarkan arti kerja kolektif. Mereka kecil, rapuh, dan nyaris tak terdengar, tetapi justru memegang kunci besar bagi keberlangsungan bumi.
Mendukung madu lokal seperti madu kelulut bukan sekadar soal rasa, melainkan juga pilihan sadar untuk merawat alam. Dengan memilih produk yang transparan, berkelanjutan, dan berbasis ekosistem, kita ikut menjaga habitat lebah, melindungi keanekaragaman hayati, dan menyikapi krisis iklim.