Purbaya Tolak Utang Kereta Cepat Dibayar Pakai APBN, Istana: Dicarikan Jalan Keluar

Mensesneg Prasetyo Hadi mengatakan perkembangan Whoosh harus didukung. karena sangat membantu masyarakat

Mensesneg Prasetyo Hadi menyatakan pemerintah akan mencari jalan keluar soal utang proyek Kereta Cepat Whoosh setelah Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa menolak membayar menggunakan APBN

Pihak Istana buka suara soal penolakan Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa membayar utang proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) atau Whoosh menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). 

Melalui Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Prasetyo Hadi, Istana menyatakan bakal mencari jalan keluar guna melunasi utang kepada China yang mencapai Rp116 triliun.

"Beberapa waktu yang lalu juga sudah dibicarakan untuk mencari skema supaya beban keuangan itu bisa dicarikan jalan keluar," katanya.

Saat memberikan keterangan usai rapat kabinet di kediaman Presiden Prabowo Subianto, Jalan Kertanegara, Jakarta, Minggu 12 September 2025 malam, Prasetyo mengatakan persoalan utang proyek Whoosh tidak dibahas dalam rapat tersebut. 

Namun, politikus Partai Gerindra ini menekankan perkembangan Whoosh harus didukung. Pasalnya moda transportasi yang menghubungkan Jakarta-Bandung ini sangat membantu masyarakat.

"Karena faktanya kan juga Whoosh, kemudian juga menjadi salah satu moda transportasi yang sekarang sangat membantu aktivitas seluruh masyarakat, mobilitas dari Jakarta maupun ke Bandung dan seterusnya," ujar Prasetyo. 

Pria asal Ngawi, Jawa Timur ini juga menyinggung wacana perpanjangan rute Whoosh hingga Surabaya.

"Dan justru kita pengin sebenarnya kan itu berkembang ya, tidak hanya ke Jakarta dan sampai ke Bandung, mungkin juga kita sedang berpikir untuk sampai ke Jakarta, ke Surabaya," imbuh Prasetyo.

Menteri Keuangan (Menkeu) Purbaya Yudhi Sadewa menolak permintaan Badan Pengelola Investasi (BPI) Danantara agar utang proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung (KCJB) ditanggung pemerintah. Purbaya memastikan tidak akan menggunakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk membayar utang kereta cepat. 

Purbaya mengatakan tanggung jawab atas proyek hasil kerjasama dengan China itu sepenuhnya berada di tangan Danantara selaku badan yang menaungi seluruh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). 

Purbaya menambahkan dengan deviden mencapai Rp80 triliun setahun seharusnya Danantara bisa mengelola sendiri dan tidak perlu campur tangan pemerintah.

“Kalau sudah dibuat Danantara, tentu mereka sudah punya manajemen sendiri, sudah punya dividen sendiri yang rata-rata setahun bisa Rp 80 triliun atau lebih. Harusnya mereka kelola dari situ, jangan ke kami lagi,” ujarnya. 

Saat memberikan keterangan melalui video saat acara media gathering di Bogor, Jawa Barat, Jumat, 10 Oktober 2025, Purbaya menjelaskan, setelah restrukturisasi melalui pembentukan Danantara, penerimaan dividen BUMN tidak lagi masuk ke kas negara dalam bentuk penerimaan negara bukan pajak atau PNBP.

Itulah sebabnya ungkap mantan Kepala Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) ini seharusnya Danantara juga menanggung risiko pembiayaan dari proyek yang dikelolanya.

“Jangan kalau yang enak swasta, kalau enggak enak dibagi ke pemerintah. Ini kan mau dipisahin swasta sama government,” katanya.

Sebelumnya, Chief Operating Officer (COO) Danantara Dony Oskaria menyampaikan dua opsi penyelesaian utang proyek KCJB. Pertama, menambah modal (equity). Kedua, menyerahkan infrastruktur Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) kepada pemerintah.

Saat memberikan keterangan usai acara Investor Daily Summit 2025 di Jakarta, Rabu, 8 Oktober 2025, Dony mengatakan pihaknya tengah mengkaji kedua opsi tersebut.

“Apakah kemudian kita tambahkan equity atau memang infrastrukturnya diserahkan sebagaimana industri kereta api lain yang infrastrukturnya milik pemerintah. Dua opsi ini yang sedang kami kaji,” katanya.

Dony mengklaim proyek KCIC telah memberikan dampak ekonomi yang signifikan karena memangkas waktu perjalanan dan meningkatkan mobilitas masyarakat. Ia mengatakan jumlah penumpang moda transportasi terus meningkat mencapai 30 ribu orang per hari.

Namun, Kepala Badan Pengaturan (BP) BUMN ini menekankan penyelesaian utang KCIC harus mempertimbangkan keberlanjutan PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai pemimpin konsorsium. 

“Dari satu sisi proyek ini bermanfaat, tapi kami juga harus menjaga keberlanjutan KAI. Karena KCIC sekarang bagian dari KAI, kami cari solusi terbaik,” ujar Dony.

Jurnalis GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]