Transformasi Mobilitas: Udara Bersih, Kota Sehat

Idealnya, kota-kota di dunia menerapkan konsep mobilitas berkelanjutan, yang mengacu pada penggunaan moda dan sistem transportasi yang ramah lingkungan, adil secara sosial, dan ekonomis berkelanjutan.

Ilustrasi: Muid/ GBN.top

Di tengah maraknya keluhan tentang polusi udara di Jakarta, peraturan uji emisi kendaraan, dan Lintas Raya Terpadu (LRT) di wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Bekasi, sejumlah pegiat lembaga swadaya masyarakat dari berbagai negara berkumpul di Chiang Mai, Thailand, membahas mobilitas perkotaan secara mendalam.  

Mobilitas merupakan potensi pergerakan dan kemampuan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain dengan menggunakan satu atau lebih moda transportasi guna memenuhi kebutuhan sehari-hari. Idealnya, kota-kota di dunia menerapkan konsep mobilitas berkelanjutan, yang mengacu pada penggunaan moda dan sistem transportasi yang ramah lingkungan, adil secara sosial, dan ekonomis berkelanjutan. Konsep ini menekankan pada pengurangan emisi, kemacetan, dan ketergantungan pada sumber daya yang tidak dapat diperbarui sambil menggerakkan masyarakat untuk berjalan kaki, bersepeda, memanfaatkan transportasi umum, dan menggunakan kendaraan berenergi bersih.

Transportasi, sebagai salah satu kontributor besar polusi udara, memang pantas mendapat perhatian. Faktanya, menurut World Health Organization emisi transportasi, terutama dari lalu lintas jalan, merupakan sumber utama polusi udara yang berdampak buruk bagi kesehatan. Sebanyak 99% penduduk dunia kini menghirup udara yang tercemar, dan diperkirakan sekitar 4,2 juta kematian prematur terjadi setiap tahun akibat polusi udara ambien dengan transportasi sebagai kontributor signifikan.

Pertemuan di Chiang Mai - Southeast Asia Gathering of Urban Mobility Movers (Pertemuan Penggerak Mobilitas Perkotaan di Asia Tenggara) – diadakan untuk saling bertukar ide dan belajar dari praktik terbaik dengan bercerita, guna menciptakan solusi yang lebih inklusif menuju mobilitas perkotaan yang bersih.  Peserta berasal dari Filipina, Indonesia, Singapura, Thailand, dan Vietnam, serta pengamat dari Australia dan Turki. Mereka memaparkan beragam perspektif dan menawarkan solusi bervariasi yang pernah diterapkan.  

Sebenarnya setiap negara sudah memiliki sistem masing-masing, tetapi  sebagaimana manusia umumnya, penduduk acap kali merasa tidak puas terhadap berbagai hal. Ketidakpuasan dapat membawa pengaruh positif jika dibarengi juga dengan aksi atau tindakan dari individu maupun kelompok masyarakat.

Vareck misalnya,  peserta dari Singapore ini bercerita bahwa transportasi masyarakat di sana sudah sangat memadai dan sejak kecil ia sudah menikmati kenyamanan dalam mobilitasnya. Namun menurutnya masih ada yang kurang, sehingga ia mencoba berbagai kondisi, seperti bepergian dengan kursi roda, dan berjongkok setinggi anak kecil ketika menyeberang melewati lampu lalu lintas. Vareck berempati pada pengalaman berbagai pemangku kepentingan, dan kemudian membuat laporan komprehensif yang disampaikan kepada pihak yang berwenang agar sarana yang ada disesuaikan sehingga nyaman bagi semua orang.  

Adrian, pegiat transportasi dari Jakarta pernah bergabung di suatu komunitas untuk mendorong teman-temannya menggunakan transportasi umum. Ia mencoba mempelajari kenapa tidak banyak yang mau memanfaatkannya. Dari pengamatannya, ternyata  penanda jalan, khususnya di Jakarta, kadang masih menggunakan tulisan tangan sehingga jika hujan luntur dan hilang. Adrian mendokumetasikan hasilnya untuk kemudian bersama  komunitasnya melaporkan hal tersebut ke pemerintah daerah.  

Nazrin dari Filipina menceritakan pengalaman sukses  mengajak sektor swasta untuk beralih ke transportasi rendah emisi karbon. Dengan bertransformasi, perusahaan dapat menghemat biaya operasional dan mendapatkan reputasi lebih baik.  

Peserta juga berkunjung ke kota Mueang Kaen, melihat bagaimana 80% masyarakatnya sudah bertransformasi dari penggunaan kendaraan bermotor ke sepeda atau berjalan kaki. Mobilitas walikotanya pun dengan bersepeda. Masyarakat di sana tidak dituntut untuk membeli sepeda baru, namun mereka mendapat fasilitas servis sepeda tua secara gratis agar bisa berfungsi seperi sedia kala.  

Di akhir pertemuan, peserta mendiskusikan langkah konkret yang akan dilakukan secara kolektif. Hanna Astaranti, Community & Engagement Specialist dari Climate Reality Indonesia yang hadir di Chiang Mai dan juga nara sumber utama artikel ini, berharap mobilitas dengan fasilitas publik yang nyaman dan aman bagi seluruh kelompok masyarakat dapat segera tercapai melalui kolaborasi antar negara. Dengan demikian, permasalahan kualitas udara yang sedang dirasakan beberapa kota besar juga dapat berkurang secara signifikan.  

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com