Di tengah gempuran modernisasi dan globalisasi, kita menyaksikan fenomena yang sangat menyedihkan: semakin banyak keturunan Jawa yang tidak lagi memahami bahasa dan tulisan leluhurnya. Hal ini tentu bukan sekadar masalah sepele, melainkan ancaman nyata terhadap keberlangsungan budaya Jawa yang adiluhung.
Bahasa Jawa bukan sekadar alat komunikasi, tetapi juga cerminan filosofi hidup dan nilai-nilai luhur yang diwariskan turun-temurun. Begitu pula dengan aksara Jawa, yang bukan hanya sekadar tulisan, tetapi juga simbol dari peradaban tinggi yang pernah dimiliki nenek moyang kita. Namun, ironisnya, banyak generasi muda Jawa kini lebih fasih berbahasa asing atau bahkan lebih tertarik pada budaya luar daripada merawat warisan budayanya sendiri.
Faktor utama yang menyebabkan penurunan pemahaman bahasa dan tulisan Jawa adalah kurangnya pendidikan dan perhatian dari keluarga serta sistem pendidikan formal. Banyak orang tua yang lebih memilih menggunakan bahasa Indonesia dalam keseharian karena dianggap lebih praktis, sehingga anak-anak kehilangan kesempatan untuk belajar bahasa ibu mereka sendiri. Di sisi lain, kurikulum pendidikan formal juga semakin meminggirkan pelajaran bahasa dan aksara Jawa, menjadikannya hanya sebagai mata pelajaran tambahan yang tidak mendapatkan perhatian serius.
Selain itu, faktor lain yang turut mempercepat kepunahan bahasa dan tulisan Jawa adalah pengaruh budaya global yang begitu masif. Gaya hidup modern yang mengutamakan efisiensi dan kepraktisan membuat bahasa dan aksara Jawa dianggap kuno dan tidak relevan dengan zaman. Padahal, justru dalam menghadapi tantangan zaman, kita membutuhkan akar budaya yang kuat agar tidak kehilangan jati diri sebagai bangsa.
Jika kondisi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin dalam beberapa generasi ke depan, bahasa dan aksara Jawa hanya akan menjadi artefak sejarah yang tidak lagi dipahami oleh keturunannya sendiri. Oleh karena itu, perlu adanya gerakan besar-besaran untuk menghidupkan kembali bahasa dan aksara Jawa, baik melalui pendidikan formal maupun non-formal. Orang tua harus mulai membiasakan anak-anak mereka berkomunikasi dalam bahasa Jawa di rumah, sementara pemerintah dan lembaga pendidikan harus lebih serius dalam memasukkan bahasa dan aksara Jawa sebagai bagian dari kurikulum wajib.
Mencintai budaya sendiri bukan berarti menolak kemajuan, tetapi justru menjadi landasan yang kuat agar kita tidak kehilangan identitas di tengah arus globalisasi. Sudah saatnya kita semua, terutama keturunan Jawa, berbenah dan kembali melestarikan warisan leluhur kita. Sebab, jika bukan kita yang menjaganya, siapa lagi?
Oleh: R. Adi Sucipto
Ketua Umum Kerukunan Jawa Tulen (Kejawen)