Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir mengaku belum mengetahui kabar PT Garuda Indonesia menghentikan operasional 15 pesawatnya. Saat memberikan keterangan di kantornya, Senin 5 Mei 2025, Erick menyatakan baru akan meminta penjelasan dari direksi Garuda soal kabar tersebut.
"Belum, saya belum tahu. Saya nanti tanya Pak Dirut ya seperti apa kondisinya," kata Erick.
Sebelumnya, Bloomberg dalam laporannya, Senin 5 Mei 2025, mengabarkan PT Garuda Indonesia telah menghentikan operasional 15 pesawatnya karena kesulitan membayar biaya perawatan.
Disebutkan bahwa beberapa pemasok suku cadang dan tenaga kerja telah meminta pembayaran di muka. Tindakan ini diambil lantaran para pemasok khawatir dengan kondisi keuangan maskapai penerbangan plat merah itu.
Namun pesawat yang dikandangkan (grounded) sebagian besar adalah milik PT Citylink Indonesia, yakni sebanyak 14 pesawat. Citylink adalah anak perusahaan Garuda yang bergerak di segmen penerbangan berbiaya rendah atau Low-Cost Carrier (LCC).
Sedangkan pesawat milik Garuda yang dihentikan operasionalnya hanya 1 unit. Data dari perusahaan pelacak armada maskapai, Cirium mengatakan Garuda Indonesia memiliki 66 pesawat yang saat ini beroperasi dan 14 pesawat lainnya yang sedang disimpan (stored).
Sementara itu dalam laporan keuangannya, perusahaan dengan mode emiten GIAA itu pada semester I 2024 mempunyai beban operasional sebesar 839,12 juta dolar Amerika Serikat (AS) atau setara Rp12,81 triliun. Angka ini meningkat 15,02 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yakni 729,49 juta dolar AS.
Beban terbesar adalah biaya bahan bakar sebesar 535,51 juta dolar AS. Disusul beban penyusutan 168,86 juta dolar AS. Selanjutnya masing-masing, beban pemeliharaan dan perbaikan 257,57 juta dolar AS, beban umum dan administrasi 123,05 juta dolar AS, beban tiket, penjualan dan promosi US$ 84,1 juta dolar AS, beban pelayanan penumpang 107,16 juta dolar AS dan beban keuangan sebesar 246,45 juta dolar AS.
Pada semester I 2024, GIAA juga masih mencatatkan kerugian yang dapat diatribusikan kepada pemilik entitas induk sebesar 106,93 juta dolar AS atau setara Rp1,55 triliun. Angka ini membengkak 32,8 persen dibanding periode yang sama tahun sebelumnya yakni 76,5 juta dolar AS.