Kabar adanya pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap puluhan ribu pekerja pabrik garmen dan tekstil ternyata bukan isapan jempol belaka. Kabar tersebut benar-benar terjadi karena kondisi sektor industri tekstil dan produk tekstil (TPT) saat ini benar-benar tangah terpuruk.
Hal itu terungkap dalam rapat Rapat Dengar Pendapat Komisi IX DPR dengan Direktur Utama Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa 2 Juli 2024.
Anggoro menjelaskan pihaknya telah mencermati kabar PHK di sejumlah sektor industri beberapa waktu belakangan. BPJS Ketenagakerjaan juga sudah berkoordinasi dengan pihak terkait seperti asosiasi, kementerian, dan perusahaan.
"Kami berbicara langsung dengan mereka untuk memastikan sebenarnya dari berita-berita yang beredar itu, seberapa besar yang sebenarnya memang tutup. Karena berita-berita perlu kita klarifikasi juga," ujarnya.
Anggoro mengatakan berdasarkan data pihak asosiasi sebanyak 31 perusahaan tutup. Selain itu 21 perusahaan dilaporkan melakukan PHK.
"Paling tidak dari komunikasi kami dengan Asosiasi Produsen Serat & Benang Filamen Indonesia (APSyFI), itu kita dapatkan data 31 perusahaan terlapor tutup, 21 perusahaan melakukan PHK sebagian," ungkap Anggoro.
Menurutnya BPJS Ketenagakerjaan melakukan koordinasi dan komunikasi dengan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Ketenagakerjaan untuk melakukan sosialisasi manfaat kepesertaan BPJS Ketenagakerjaan, seperti Jaminan Hari Tua (JHT) dan Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).
"Jangan sampai mereka kalau mereka terkena PHK mereka tidak tahu bahwa mereka punya manfaat JHT, mereka punya manfaat JKP. Sehingga hal yang kita lakukan di konteks ini adalah kita memastikan terus para pekerja tahu akan haknya sehingga jika terjadi risiko PHK mereka bisa mendapatkan manfaat," kata Anggoro.
BPJS Ketenagakerjaan telah meminta kantor wilayah di Pulau Jawa berkomunikasi dengan tiga perusahaan besar di masing-masing daerah utamanya di sektor garmen, tekstil, dan alas kaki.
Komunikasi dilakukan dengan 57 perusahaan dengan 321.966 peserta aktif atau mewakili 21,37 persen dari populasi yang bekerja di sana.
Hasil komunikasi menyimpulkan beberapa permasalahan yang terjadi, seperti 52,78 persen perusahaan mengalami penurunan pesanan yang berdampak pada pengurangan jam kerja dan hari kerja. Sebanyak 43 persen perusahaan sudah mulai mengalami peningkatan pesanan dan 4,17 persen perusahaan masih dalam pemulihan pasca pademi Covid-19.
Anggoro membeberkan lima kebijakan pemerintah yang diharapkan berdasarkan komunikasi dengan beberapa perusahaan tersebut, yakni memberikan kemudahan perizinan bagi para investor agar tidak kalah bersaing dengan negara-negara berkembang lainnya (24 perusahaan, 42,11 persen).
Penetapan upah minimum yang tidak membebani finansial perusahaan (13 perusahaan, 22,71 persen. Ketersediaan bahan baku dalam negeri yang mudah dan murah (12 perusahaan, 21,05 persen).
Peningkatan dan pelatihan kemampuan pekerja (4 perusahaan, 7,02 persen) serta insentif pajak (4 perusahaan, 7,02 persen).
"Inilah hal-hal yang coba kita dalami, selain kita berkomunikasi soal manfaat program, kami juga berkomunikasi tentang apa yang terjadi di setiap perusahaan di kondisi saat ini," ujar Anggoro.