Debat Capres di KPU yang digelar pekan lalu masih menyisakan pertanyaan besar mengenai etika seorang calon presiden yang akan memimpin Indonesia sebagai negara besar, yang memiliki penduduk lebih dari dua ratus juta jiwa, sebuah bangsa yang memiliki nilai-nilai luhur.
Persoalan etika seorang calon pemimpin tertinggi di Tanah Air muncul dalam debat Capres saat Anies Baswedan, Capres nomor 1, mendapatkan kesempatan bertanya kepada Capres nomor 2 Prabowo Subianto.
Anies bertanya kepada Prabowo, “Apa perasaan Pak Prabowo, saat MKMK [Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi] memutus keputusan MK no.90 itu pelanggaran berat etika? Pak Prabowo masih punya beberapa hari saat itu untuk mengubah penentuan Cawapres Bapak sebelum pendaftaran ke KPU, tapi mengapa keputusan Bapak mengambil langkah keputusan MK yang telah divonis cacat etika oleh MKMK?
Prabowo menjawab, “Mas Anies, Mas Anies, itu kan hukum sudah ditegakkan, sudah ada keputusan MKMK yang memvonis, untuk apa lagi mempertimbangkan hal lain? Come on mas Anies, kita bukan anak kecil lagi. Biarkan rakyat yang memilih, jika rakyat tidak memilih Prabowo - Gibran, ya tidak apa apa.”
Jawaban Prabowo ditanggapi Anies dengan mengatakan, “Itulah Pak, jika di institusi tertinggi masih ada keputusan keputusan yang tidak memenuhi etika, namun berlindung di balik keputusan hukum, akan menjadi preseden bagi seluruh rakyat, karena pemimpin itu pèrlu mencontohkan.”
Dari dialog tersebut dapat disimpulkan bahwa Prabowo terkesan acuh tak acuh dengan persoalan etika, kalau tidak bisa dikatakan tidak menjunjung etika ketika mencalonkan diri sebagai capres yang jelas jelas pencalonan cawapresnya melalui proses yang cacat etika.
Prabowo berpatokan pada putusan MK sebagai sebuah produk hukum yang sudah final. Namun dia lupa dengan pepatah kuno kekaisaran Roma yang menyebutkan quid leges sine moribus, yang berarti hukum tidak berarti banyak, kalau tidak dijiwai oleh etika/moralitas.
Prabowo barangkali lupa kalau hukum tidak cukup diartikan sebagai aturan yang mengikat warganya saja, melainkan harus memiliki fondasi etika atau moral. Keputusan MK jelas tidak didasarkan kepada pertimbangan yang objektif dan demi kemaslahatan bangsa, tetapi demi kepentingan orang per orang, keluarga, atau kelompok tertentu.
Etika memang berbeda dengan hukum. Etika bersifat otonom, yakni bersumber dari kesadaran sendiri. Ketaatan pada etika bersumber dari kesadaran dan kemauan diri sendiri. Tidak ada paksaan dari luar untuk taat pada etik. Etika menjadi kebutuhan pribadi dan tuntutan terhadap pribadi.
Etika bersifat inward looking, sementara hukum bersifat outward looking sebagai sarana hubungan antarorang, antara orang dan kelompok, kelompok dan kelompok, orang/kelompok dan negara/kekuasaan. Karena itu para penganut positivisme berpendapat hukum tidak ada hubungan dengan etika. Hukum adalah produk kekuasaan, sementara etika tumbuh dari kesadaran pribadi.
Namun hukum yang baik adalah hukum yang di dalamnya dipenuhi unsur etik. Hukum yang tidak bersumber pada etika bisa dikatakan bukanlah hukum.
Hukum tidak bisa dipisahkan dari moral. Hukum harus memuat dan merupakan kritalisasi nilai-nilai moral, tidak cukup diartikan sebagai aturan yang mengikat warga saja, melainkan harus memiliki aspek keadilan untuk melindungi warga dengan adil dan menjamin kepastian hukum bagi setiap orang, tanpa kecuali.
Hukum yang diformulasikan dari nilai-nilai yang tumbuh di tengah masyarakat yang di dalamnya ada nilai etika dan moral merupakan salah satu unsur penting dalam mewujudkan keadilan di tengah masyarakat. Oleh karena itu, penegakan hukum harus juga diiringi oleh nilai etika dan moralitas.
Di sini jelas ada hubungan fungsional antara ketaatan pada etika dan ketaatan pada hukum. Kesadaran etika berkaitan dengan budaya, peradaban, dan sifat arif atau kearifan. Karakteristik kesadaran, peradaban, dan kearifan mengikat setiap orang, kelompok, dan lingkungan kerja.
Berbagai karakteristik etik ini bertujuan untuk kesempurnaan perikehidupan pribadi. Kesempurnaan perikehidupan pribadi akan mendorong perbaikan tata kehidupan masyarakat.
Dalam kasus debat Capres, Prabowo dinilai cacat etika karena bersikeras memilih cawapres yang lahir dari proses hukum yang cacat etika dan membawa-bawa hukum produk MK yang cacat etika seperti diputuskan oleh MKMK.
Apalagi belakangan tercetus omongan Probowo ‘ndasmu etik’, lebih menambah cacatan miring atas dirinya karena dinilai menyepelekan etika politik, jauh dari sikap seorang negarawan.