Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan menghapus kolom agama di Kartu Tanda Penduduk elektronik (e-KTP). MK pun menegaskan setiap warga negara harus memiliki agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan keyakinan masing-masing.
Hakim MK Arief Hidayat yang membacakan putusan perkara 146/PUU-XXII/2024, di Gedung MK, Jakarta, Jumat 3 Januari 2025 mengatakan kebebasan beragama atau berkepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan salah satu upaya mempertahankan karakter bangsa.
"Dalam konteks ini, maka implementasi masing-masing individu dalam meyakini Ketuhanan Yang Maha Esa dalam hukum positif adalah beragama dan menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa secara merdeka, hal mana merupakan pilihan yang jauh lebih tepat daripada tidak beragama atau tidak menganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa," katanya.
MK juga menilai pembatasan kebebasan beragama tidak bertentangan dengan konstitusi. Sehingga dalil yang diajukan pemohon tidak beralasan menurut hukum. MK menyebut tidak ada ruang bagi warga negara untuk tidak beragama.
"Dengan demikian, pembatasan kebebasan beragama di mana tidak ada ruang kebebasan bagi warga negara untuk tidak memeluk agama atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah pembatasan yang proporsional dan bukanlah pembatasan yang bertentangan dengan Konstitusi. Oleh karena itu, dalil para Pemohon mengenai inkonstitusionalitas bersyarat Pasal 22 UU 39/1999 adalah tidak beralasan menurut hukum," ujarnya.
MK menyatakan kebebasan beragama atau berkepercayaan ialah kebebasan untuk memilih agama atau kepercayaan masing-masing. Kebebasan bukan untuk memberikan ruang bagi warga negara boleh untuk tidak beragama atau berkepercayaan.
"Untuk itu, norma dalam undang-undang yang mengatur mengenai administrasi kependudukan mewajibkan bagi setiap warga negara untuk menyebutkan atau mendaftarkan diri sebagai pemeluk agama atau penganut kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa merupakan norma yang berfungsi dan bertujuan untuk memfasilitasi dan mewujudkan karakter bangsa yang demikian," ucap Arief saat membacakan putusan
Kebebasan beragama atau berkepercayaan menurut MK, bukanlah pembatasan hak asasi. Pasalnya hukum memberikan kemerdekaan bagi warga negara untuk memilih agama dan meyakini kepercayaan terhadap Tuhan Yang Esa, selagi tidak melanggar pembatasan-pembatasan yang telah diatur dalam UUD NRI 1945.
"Dalam hal ini, Pasal 28J ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 sebagai dasar pembatasan penerapan hak konstitusional pun menjadikan nilai agama sebagai salah satu dasar pembatasan," kata Arief.
Sebelumnya, gugatan untuk menghapus kolom agama di e-KTP diajukan oleh warga bernama Raymond Kamil dan Indra Syahputra. Beberapa pasal yang digugat terdapat dalam beberapa Undang-Undang, seperti Undang-Undang Administrasi Kependudukan (Adminduk), yang mengatur urusan agama warga.
Pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan sejumlah aturan yang mengharuskan warga negara beragama atau menganut agama. Mereka merasa ada ketidakpastian perlindungan bagi warga gara-gara keharusan itu. Itulah sebabnya dalam risalah persidangan yang dikutip pada Rabu 23 Oktober 2024, pemohon meminta MK memperbolehkan warga tidak menganut agama.
"Hak konstitusional para pemohon yang tidak memeluk agama dan kepercayaan dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang menjadi objek permohonan dan kerugian bersifat aktual dan/atau menurut penalaran yang wajar dapat terjadi dan memiliki hubungan sebab-akibat yang nyata," ujar pemohon.