Jangan Percaya Fiskal!

Sekalipun APBN terus membaik, penerimaan negara terus meningkat, jangan percaya fiskal bisa menjadi mesin ekonomi yang kuat yang bisa menggerakkan pertumbuhan secara sendirian.

Fiskal tidak cukup menggerakkan pertumbuhan ekonomi secara sendirian

Pemerintah berhasil meraup penerimaan negara melebihi target yang ditetapkan sepanjang tahun lalu.  Dari yang dipatok sekitar dua ribu enam ratus triliun rupiah, kemenkeu meraih dua ribu tujuh ratus triliun rupiah atau dalam persentase lima lewat seratus.

Pencapaian ini tentu membanggakan pemerintah lantaran sebelumnya mereka ragu kalau penerimaan tahun lalu bisa tumbuh dibandingkan tahun sebelumnya di tengah merosotnya harga komoditas di pasar global.

Nyaris semua pos penerimaan negara seperti Pajak Penghasilan (PPh) nonmiga , Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) , Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dividen BUMN, Penerimaan Negara Bukan pajak (PNBP), dan realsiasi hibah melampaui target, kecuali PPh Migas dan pendapatan dari kepabeanan dan cukai yang meleset.

Penerimaan negara melebihi target meningkatkan keyakinan bahwa ada ruang yang lebih luas bagi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) atau fiskal di dalam menggerakkan ekonomi yang sedang dibutuhkan sekali di dalam mendorong pertumbuhan di atas enam persen pada tahun-tahun berikutnya agar Indonesia bisa lepas dari jerat negara berpendapatan menengah.

Euforia akan kemampuan fiskal dalam menggerakan perekonomian bisa melenakan dan melupakan peran sektor moneter dan sektor riil dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Harus disadari bahwa peran anggaran negara di dalam ekonomi hanya sekitar 30 persen. Sisanya masih harus mengemis kepada perbankan, investasi, pengeluaran rumah tangga, perdagangan dan lain-lain.

Ekonomi Indonesia banyak ditopang pertumbuhannya oleh sektor pengeluaran rumah tangga yang kontribusinya terhadap produk domestik bruto (PDB) cukup dominan. Namun belakangan nilainya berkurang. Ada perubahan pola konsumsi. Konsumen cenderung menahan konsumsinya sehingga nilai belanjanya mengecil.

Di sektor investasi, nilainya naik namun prosentasenya menurun dibandingkan periode sebelumnya. Industri pengolahan membaik namun belum mencapai target sebesar 20 persen, masih berada di level 18 persen dari PDB. Kontribusi beberapa industri pengolahan cenderung menurun sehingga tidak membantu meningkatkan kontribusi sektor tersebut secara keseluruhan.

Mungkin pemerintah berpikir perlunya menyuntikkan dana ke sektor industri pengolahan agar bisa tumbuh lebih tinggi lagi. Pada saat bersamaan bank banjir likuiditas. Pas jika bank menyalurkan kreditnya.

Tantangan muncul di sini. Bank bisa saja dipaksa meningkatkan penyaluran kredit melalui penerapan sejumlah instrumen moneter. Namun jika tidak dibarengi dengan perbaikan dan pemberian insentif kepada sektor riil, yang muncul justru kredit macet.

Meningkatkan pertumbuhan kredit perlu lebih dulu menggerakkan sektor riil. Sektor riil bisa digerakkan melalui insentif pemerintah dengan memberikan potongan pajak, misalnya kepada sektor otomotif, sehingga bisa menyerap kelebihan likuiditas bank. Jika saat ini bank lebih banyak memarkir dananya karena memang tidak ada permintaan kredit. Permintaan didorong oleh sektor riil.

Di sisi lain, penyaluran kredit dipengaruhi juga oleh tingkat suku bunga. Penetapan suku bunga mengacu antara lain pada tingkat inflasi dan nilai tukar.

Indonesia saat ini masih dapat menahan tingkat suku bunga acuan tidak setinggi negara lain seperti AS. Negara Paman Sam menetapkan tingkat suku bunga tinggi karena moneter jadi panglima dan didukung oleh kondisi demografi sebagai faktor penting di dalam mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah juga masih bisa menahan inflasi di tengah tingkat inflasi dunia yang masih tinggi saat ini. Namun itu dicapai karena ada subsidi BBM. Apakah inflasi masih dapat ditekan pada tahun ini di tengah rencana pemerintah mencabut subsidi BBM? Jika inflasi tinggi, sulit untuk mendorong pertumbuhan eknomi.

Inflasi memukul bank. Suku bunga acuan akan naik untuk mengantisipasinya. Saat suku bunga naik, bank tidak serta merta dapat menaikan suku bunga kredit karena akan menurunkan permintaan. Bank berkorban dengan menurunkan margin. Hal ini terlihat dari net interest margin (NIM) yang semakin mengecil.

Situasi yang dihadapi Indonesia pada tahun ini memang cukup komplek. Diprediksi masih ada El Nino yang mengancam produksi pangan. Di samping itu, sejumlah negara masih menahan ekspornya yang bisa berpengaruh pada kenaikan harga-harga. Hal ini bisa mempengaruhi target inflasi tiga persen.

Ada harapan ekonomi digerakkan oleh modal luar negeri, investasi langsung maupun portofolio. Namun belakangan nilai investasi langsung tidak cukup signifikan kenaikannya, sementara investasi portofolio cenderung negatif karena arus keluar modal (capital outflow) sulit untuk ditahan.

Dana keluar perlu ditarik kembali melalui pemberian insentif agar pihak ketiga mau masuk kembali dan betah menempatkan dananya di dalam negeri. Masalahnya, investor portofolio sensitif terhadap sentimen. Apalagi di tahun politik, jika ada pasangan Capres-Cawapres membuat kegaduhan, mereka akan lari dari Indonesia.

Menghadapi kondisi kritis seperti ini diperlukan kebijakan yang fleksibel. Selama ini pemerintah cenderung berbasis aturan (rule based) sehingga proses pengambilan kebijakan menjadi panjang, yang justru merugikan diri kita sendiri. UU seharusnya makin sedikit, hanya mengatur hal-hal pokok saja.

Di sisi lain, perlu peningkatan koordinasi dan integrasi kebijakan yang sifatnya lintas sektor demi pertumbuhan ekonomi tinggi. APBN tak dapat menggerakkan ekonomi secara sendirian. Artinya, sekalipun APBN terus membaik, penerimaan negara terus meningkat, jangan percaya fiskal bisa menjadi mesin ekonomi yang kuat yang bisa menggerakkan pertumbuhan ekonomi. Butuh sektor moneter dan sektor rill sebagai mitra pembangunan.

Jurnalis GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com