Kasus Budiharjo: Manipulasi dan Kriminalisasi Hukum

Pengadilan seharusnya menjadi tempat rumah untuk mencari keadilan. Formalisme dan prosedural hukum semata jelas mudah mengabaikan rasa keadilan. Lalu, menjadi "mesin" kriminalisasi.

Sumber Foto: KIBMA

Vonis dua tahun penjara untuk Budihardjo dan isterinya yang ikut pula dipenjara dibacakan oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada hari Selasa, 3 Oktober 2023. Isi putusan tersebut makin menguatkan dan/atau mempertebal keyakinan kita bahwa hukum yang dipraktikkan sekarang hanya "tajam ke bawa tetapi tumpul ke atas". Atau dengan kata lain: Persamaan di depan hukum hanyalah kamuflase belaka. Hukum yang secara teoritik menunjukkan prinsif equality before the law tidak berlaku untuk kasus yang melawan Agung Sedayu Group, salah satu gurita bisnis yang tercatat pemiliknya adalah seorang konglomerat Aguan.

Kasus ini, sesungguhnya telah terjadi kriminalisasi pada pasangan Budihardjo dan Nurlela yang sarat dengan muatan manipulasi proses perkaranya. Di mana konglomerasi mafia tanah menggunakan instrumen hukum untuk mempersekusi dan membungkam aspirasi/hak keperdataan rakyat (Budhiardjo dan Isteri).

Pada hal, dalam sejumlah kesempatan berulangkali dikemukakan oleh Presiden Joko Widodo untuk perlunya melawan para "mafia tanah" bahkan menyampaikan "perang terbuka" terhadap mafia tanah. Namun, seruan serta penegasan keras dari Presiden dan Menkopolkam Mahfud MD sepertinya menjadi angin lalu dalam kasus Budhiardjo. Sayang sekali, aparat penegak hukum yaitu hakim yang mengadili perkara a quo tak menerapkan gagasan hukum progresif.

Sebetulnya para "aktor" hakim yang mengadili perkara ini dapat merealisasikannya "keagresifan" hukum untuk menggulung berbagai manipulasi yang dilakukan oleh para mafia tanah.

Jadi, hukum progresif secara sadar menempatkan kehadirannya dalam hubungan erat dengan manusia dan masyarakat. Mengapa demikian? karena esensinya hukum tidak dapat dijalankan tanpa adanya sebuah organisasi/kelembagaan yang berfungsi mewujudkannya yaitu seperti lembaga pengadilan.

Dalam kaitan kasus ini, penegakan hukum mengandung supremasi nilai, yaitu keadilan. Namun, dalam proses pemeriksaan perkara ini, terkesan hukum bukan lagi tempat untuk mencari keadilan, tetapi pengadilan dalam kenyataannya bergeser dan berkutat pada aturan main/prosedur. Dengan bahasa lain, pengadilan hanya sebagai lembaga penerapan peraturan undang-undang dan prosedur saja. Pada hukum demikian ini, sejatinya hukum telah kehilangan rohnya sebagai "house of justice".

Sekali lagi, pengadilan seharusnya menjadi tempat rumah untuk mencari keadilan. Formalisme dan prosedural hukum semata jelas mudah mengabaikan rasa keadilan. Lalu, menjadi "mesin" kriminalisasi. Dengan demikian kita tak menyaksikan lagi secara "tragis" vonis dua tahun penjara untuk Budhiardjo dan menyaksikan isteri juga turut di penjara. Saya ingin menutup tulisan ini dengan mengutip pepatah lama: "Tegakkanlah keadilan meski langit esok akan runtuh."

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com