Menciptakan Proyek Sengsarai di Negara Kesejahteraan

Kebijakan pemerintah di Rempang dan cara brutal (kekerasan) dari pihak Polri terhadap rakyat yang mempertahankan tanah kelahirannya adalah merupakan tindakan diskriminatif dan represif

Sumber Foto:Dok. BP Batam

Dalam terminologi ilmu hukum ketatanegaraan, dikenal istilah welfare state (negara kesejahteraan). Terminologi ini pada dasarnya ditujukan sebagai suatu konsep yang menunjukkan keinginan (willingness) pada pendiri negara (founding fathers) untuk memenuhi kebutuhan dasar warga negaranya. Encyclopedia Britannica menguraikan bahwa negara kesejahteraan diartikan sebagai konsep pemerintahan di mana negara memainkan peran kunci dalam menjaga dan memajukan kesejahteraan warga negaranya.

Begitu pula halnya the Concise Oxford Dictionary of Politics mendefinisikan negara kesejahteraan sebagai sebuah sistem di mana pemerintah menyatakan diri bertanggung jawab untuk menyediakan jaminan sosial. Negara kesejahteraan acapkali diasosiasikan dengan pemenuhan kebutuhan dasar. Oleh karena itu, ia dianggap sebagai mekanisme pemerataan terhadap kesenjangan yang ditimbulkan oleh kebijakan pemerintah.

Namun, fakta yang ada dalam kehidupan bernegara, dengan maraknya pengosongan lahan milik rakyat (relokasi) atas nama investasi proyek strategis nasional (PSN) maka cita-cita para pendiri pendiri bangsa sepertinya "jauh api dari paggang".

Wadas, pulau Komodo, dan Rempang adalah kasus-kasus belakangan ini yang memberi konfirmasi kepada publik bahwa kesejahteraan sebagai harapan atau "janji kemerdekaan" kehidupan berbangsa tak kunjung datang, tetapi justru penderitaan rakyat yang makin membuat hati kita jadi miris. Dan, kini menjadi tontonan sehari-hari. Buat publik, hal itu tentu saja menjadi masalah yang tidak sekadar diistilahkan hanya "mis-komunikasi". Tidak bisa masalah air mata rakyat di sederhanakan bahwa yang terjadi hanya "kesalahpahaman" di lapangan.

Apalagi kenyataannya pemerintah selalu membangun dialog dengan menempatkan hukum nasional berhadapan dengan hukum adat. Menempatkan bukti kepemilikan formal, sehingga mengabaikan keberadaan masyarakat yang menempati tanah jauh sebelum kemerdekaan Republik Indonesia. Padahal, aliran sosiological jurisprudence seperti Eugen Ehlirch, menyebutkan hukum yang baik dan efektif adalah hukum yang sesuai/mencerminkan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat (living law).

Bahkan, manuskrip lama memberi konfirmasi kepada kita bahwa yang tersimpan di Perpustakaan Leiden Belanda dari tahun 1942. Pulau Rempang sudah tercatat berpenduduk Bangsa Melayu. Hal itu, menjadi bukti aktual - faktual terhadap sejarah tanah yang kuat dan kokoh di Pulau Rempang tersebut.

Manakala kita mencermati sejarah, maka kita tak semena-mena "menabrak" hak dasar warga. Sebab, kita memahami bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang dikenal dengan kemajemukannya karena ada berbagai suku yang hidup bersama dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam masyarakat tradisional, keberadaan hukum adat dan kearifan lokal masyarakat hukum adat masih tetap hidup dan berkembang di tengah arus perkembangan zaman/modernisasi di era investasi para investor.

Sekali lagi, dengan fakta hukum yang ada, seyogyanya pemerintah tak banyak berdalih dalam menangani konflik di Pulau Rempang. Sebab, sejatinya jika pemerintah memaksakan apalagi dengan cara-cara kekerasan (abuse of power). Maka, dapat "distigmatisasi" telah terjadi mal-praktik kekuasaan di tengah-tengah kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, kebijakan pemerintah di Rempang dan cara brutal (kekerasan) dari pihak Polri terhadap rakyat yang mempertahankan tanah kelahirannya adalah merupakan tindakan diskriminatif dan represif

Pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Islam Jakarta

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com