Ada nuansa surealis, ketika Sabtu sore, 9 Agustus 2024, kami bertamu ke rumah Haji Deden Solihudin, 50 tahun, di Desa Sukamukti, Garut. Rumahnya yang megah, tiga lantai, bercat putih, berdiri kokoh di sela-sela perkampungan padat. Haji Deden baru bangun tidur siang saat kami bertiga (Andi Sahrandi, Apriyanto, dan saya) menemuinya, untuk mendengar langsung kisah hidupnya. Kisah sukses seorang penjual golok kakilima miskin yang merantau ke Jakarta, menjadi petani kaya raya di Garut, tanah kelahirannya.
Kemakmuran Haji Deden, dan puluhan petani anggota Serikat Petani Pasundan (SPP) di Jawa Barat, adalah testamen: bahwa perubahan bisa dilakukan, kemiskinan bisa dihilangkan, tanpa harus menunggu peran negara. Melalui kepemilikan lahan, kerja keras, dan kebersamaan perjuangan, mengubah nasib dari petani miskin --turun temurun tak punya lahan,--menjadi pemilik berbagai usaha pertanian dan perkebunan besar bukan hal mustahil.
Kisah Haji Deden dan 150 petani sukses, yang kini makmur sejahtera, menjadi inspirasi bagi puluhan ribu petani di Jawa Barat. Mereka punya harapan bakal segera lepas dari kemiskinan struktural, yang bukan cuma dongeng atau harapan. Mereka tidak memerlukan bantuan atau dukungan pemeeintah untuk bisa mengubah nasib. Tapi justru sebaliknya, in ironisnya, mereka harus bertarung melawan ancaman, intimidasi, dan halangan aparat negara, BUMN perkebunan, Perhutani, atau teror preman sewaan pengusaha.
Garut, Tasikmalaya, Ciamis dan sekitarnya adalah kawasan yang dianugerahi dengan kondisi tanah subur. Sejak era penjajahan Belanda, Garut adalah tempat perkebunan teh, kopi, hingga tanaman akar wangi. Tapi kesuburan itu tidak membawa kemakmuran bagi warganya.
Justru sebaliknya, rakyat Garut terjerat kemiskinan struktural akibat ketidak-becusan negara mengelola sektor pertanian dan perkebunan yang menjadi sumber utama ekonomi rakyat. Kebijakan pemerintah bukan cuma tidak mendukung tumbuh-kembangnya sektor pertanian, malah justru cenderung menghalangi, bahkan memusuhi petani kecil.
Garut adalah mozaik kecil, ilustrasi dari kegagalan pendekatan pembangunan "developmentalisme", mitos trickle down effect, kemakmuran yang akan menetes.. Pemerintahan yang berpihak pada pemodal besar (investor), mental birokrasi feodal, dan sikap sewenang-wenang, melihat rakyar miskin sebagai gangguan.
Situasi tragis ini terjadi di seluruh Indonesia, rakyat hidup miskin di lahan yang subur. Saat rakyat menuntut atau mempertahankan lahannya, dihadapi dengan ancaman, tekanan, dan kekerasan. Rakyat tak punya pilihan selain melawan, yang memicu berbagai konflik negara vs rakyat. Konflik pertanahan, pengambilalihan dan penggusuran disertai kekerasan terjadi di berbagai wilayah pada dasawarsa 1980-an di era Orde Baru dan terus berlanjut hingga kini. Benturan aparat dan rakyat banyak terjadi, dari kasus Kedung Omdo, Rancamaya, Sumber Kamplok, Kacapiring, Cimacan, Talangsari Lampung, dan lain-lain. (Di era Jokowi kasus Rempang, Wadas, PIK2, dan berbagai Proyek Strategis National)
Perlawanan rakyat pada kekuasaan Orba di era 1980-an tidak bisa dilepaskan dari geliat gerakan mahasiswa saat itu. Kampus diiisolasi, disterilisasi, dari pemahaman politik kerakyatan pasca diberlakukannya NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan). Kebijakan rezim Orde Baru, pada 1978, untuk mengendalikan, membatasi kebebasan berpendapat, dan sikap kritis mahasiswa di kampus. Aktivis gerakan mahasiswa yang tetap kritis kemudian memilih berkiprah "keluar kampus dan menyatu dengan rakyat".
Gerakan mahasiswa mengadvokasi sengketa lahan Badega (Garut) dan Kedung Ombo (Grobogan), adalah contoh koalisi mahasiswa dan rakyat yang mengangkat persoalan tanah dan hak petani. Perlawanan rakyat dan mahasiswa terhadap "pembangunanisme" ala rejim Orde Baru yang mengabaikan nasib rakyat kecil.
Dalam geliat lahirnya gerakan mahasiswa bersatu dengan rakyat era 1980-an ini, di Garut muncul sosok Agustiana. Mahasiswa yang ayahnya anggota wakil rakyat daerah (DPRD) Kabupaten Garut. Ia sering menyaksikan ayahnya menerima pengaduan rakyat tapi tak berani merespon, karena ekosistem politik saat itu tidak memungkinkan wakil rakyat boleh membela rakyat.
Sebagai putra Garut, Agustiana, saat itu mahasiswa universitas swasta di Jakartar, prihatin atas ketidakberdayaan bapaknya sebagai wakil rakyat. Bersama beberapa mahasiswa Garut "diaspora" ia mendirikan Keluarga Mahasiswa Asal Garut (Kemaga), dan mulai mengadvokasi sejumlah kasus tanah. Berlanjut pada 1990 mendirikan Forum Pemuda Pelajar Mahasiswa (FPPMG) dan Serikat Petani Jawa Barat (SPJB). Aktivitasnya mengadvokasi kasus tanah di desa Sagara melawan Perhutani, membuatnya diganjar hukuman 6 bulan penjara, dianggap menghasut rakyat.
Sebelum itu, tahun 1989, pada level jaringan mahasiswa nasional, Agustiana bersama almarhum Mohamad Yamin, Raziku Amin, dan lain-lain mendirikan Serikat Pendanping Rakyat (SPR). Ikut terlibat menggalang aksi Badega, Kedung Omdo, Rancamaya, Sumber Kamplok, Cimacan, Talangsari Lampung. Melalui jaringan SPR inilah, Agustiana ikut menginisiasi berdirinya sejumlah serikat petani di 13 provinsi. Termasuk mendirikan Serikat Petani Pasundan (SPP), bersama Yudi Kurnia dan Yani Sri Mulyani.
Tahun 1994, sejumlah aktivis, seperti Nur Fauzi, Kartjono, Dedi Triawan, Bambang Wijajanto, Paskah Irianto, termasuk Agustiana, menginisiasi Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA). Tercetus saat acara syukuran kembalinya Adnan Buyung Nasution dari Belanda, di Bandung. KPA bertujuan melakukan kajian dan pendanpingan kasus-kasus tanah, untuk mewujudkan keadilan dalam kepemilikan, redustribusi dan pengelolaan agraria.
Selain mendampingi dan mengadvokasi petani, kesuksesan kinerja KPA adalah advokasi kebijakan, pengesahan TAP MPR 2001, tentang Kebijakan Agraria yang Pro-Rakyat. Juga lahirnya sejumlah undang-undang yang berorientasi untuk rnengimplementasikan Pasal 33 UUD 1945, termasuk memastikan UU Pokok Agraria menjadi rujukan sumber hukum pertanahan.
Ketika situasi politik nasional memanas pasca terjadinya Kerusuhan 27 Juli 1996 (penyerbuan markas PDI, popular dengan julukan "Kudatuli"), persekusi terhadap aktivis mahasiswa dan LSM terjadi. Sejumpah aktivis ditangkap, bahkan diculik menjelang Pemilu 1997. Termasuk Agustiana, yang diadili dan divonis 8 tahun. Didakwa telah merongrong kewibawaan pemerintah karena terlibat kerusuhan Kudatuli di Jakarta dan kerusuhan Tasikmalaya, pada Desember1996. Gerakan Reformasi 1998 menumbangkan Soeharto dan rejim Orde Baru, membebaskan Indonesia dari kediktatoran. Dan para aktivis yang ditahan, termasuk Agustiana, juga dibebaskan.
Pasca-reformasi 1998, banyak mantan aktivis mahasiswa terjun ke politiik, terus bergiat di LSM, atau kerja profesional. Agustiana tetap fokus bergiat di isu agraria, melalui KPA dan SPP, mengadvokasi kasus-kasus penggusuran tanah rakyat, kriminalisasi petani, dan advokasi kebijakan.
Suasana keterbukaan politik Era Reformaai (berlakunya TAP MPR No 9 tahun 2001 dani UUPA 1960) dan orientasi pro-rakyat pemerintahan baru, mendorong para aktivis KPA dan serikat-serikat petani menjalankan aksi-aksi "merebut kembali" (reclaim) tanah-tanah rakyat. Sedikitnya, di seluruh Indonesia, terjadi 400 kasus reclaim tanah. Aksi serupa dilakukan Serikat Petani Pasundan, sebagai anggota KPA, menggerakkan 92 kasus merebut tanah di Lima kabupaten (Garut, Tasikmalaya, Pangandaran, Ciamis, Banjar).
Aktivis KPA mempersoalkan semua ijin konsesi di lahan tanah produktif untuk pertanian dan perkebunan. Baik tanah berstatus Hak Penguasaan Hutan (HPH), Hutan Tanaman Industri (HTI), termasuk Hak Guna Usaha (HGU) yang ijinnya bertentantangan dg TAP MPR dan UUPA. Dengan basis legalistik ini, KPA dan serikat-serikat petani merebut tanah yang bermasalah untuk dikelola dan dimiliki rakyat. Diperkirakan total tanah yang berhasil direbut dan dikelola rakyat, periode 2001 - 2004, mencapai sembilan ratus ribu hektar.
Menurut Ketua Dewan National KPA, Yudi Kurnia, KPA menargetkan 11 juta hektar lahan. Dan sejauh ini, sampai 2024, lahan yang bisa direbut mencapai 1, 6 juta hektar. Merebut lahan bukan aksi sepihak KPA, melainkan sejalan dengan kesepakatan dengan pemerintah, melalui program Lokasi Prioritas Reforma Agraria (LPRA). Kesepakatan yang dibuat pada era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, namun kemudian dilanggar dan tidak dilaksanakan di era Presiden Jokowi.
Serikat Petani Pasundan (SPP), sebagai anggota KPA, hingga tahun 2024 berhasil merebut tanah seluas 40 ribu hektar, tersebar pada lima kabupaten di Jawa Barat. Petani anggota SPP kini bisa mengelola lahan yang pada umumnya dulu dikuasai oleh PT Perkebunan Nusantara (PTPN). VIII. BUMN yang terbukti gagal mengelola dan mengolah lahan rakyat.
Lahan yang umumnya nganggur itu kini menjadi produktif, setelah dikelola sendiri oleh petani yang tergabung dalam SPP. Menjadi sumber penghasilan rakyat untuk melepaskan diri sari jerat kemiskinan. Anggota SPP tercatat sebanyak 92 ribu petani di sekuruh Jawa Barat, kini memiliki penghasilan, lahan, dan masa depan dengan bertani.
Para petani anggota SPP bisa memiliki lahan bukan proses yang mudah. Mereka harus berhadapan dengan aparat polisi, satpam PTPN, dan ancaman preman. Sedikitnya 1000 anggota SPP dan aktivis pendamping pernah ditangkap, ditahan atau dipenjara bahkan ada yang divonis selama 4 tahun terkait konflik pertanahan.
Ironi terbesar dari kisah perjuangan para petani untuk mengolah lahan adalah, alih-alih mendapat dukungan atau bantuan fasilitas pemerintah, sebagaimana mestinya, mereka justru sering diintimidasi, dihalangi, dan dihambat. Saat sebagian dari mereka sukses, itu murni karena hasil kegigihan berani melawan kekuasaan dan kerja keras.
Sembilan puluh dua ribu petani anggota SPP kini memiliki lahan, dan memiliki masa depan untuk bisa lepas dari kemiskinan struktural. Kemiskinan akibat ketidakmampuan pemerintah menjalankan amanatnya, dan merajalelanya praktek korupsi, kolusi, nepotisme.
Kisah sukses Haji Deden Solahudin, di awal tulisan ini -- dari pedagang keliling jualan golok kemudian bergabung dengan SPP dan menjadi petani makmur, adalah testimoni dan bukti: rakyat bisa makmur sejahtera jika negara tak menghalangi. Kisah jerja keras Haji Deden sangat kontras dengan perilaku politikus, makeoar politik, atau relawan yang berpolitik dengan lobi-lobi atau cuma "mencangkul" lahan di media sosial. Mereka yang sekejap mendadak kaya karena menjadi komisaris di BUMN atau mendapat jabatan politik.
Haji Deden kini bukan lagi pedagang kaki lima miskin, perlu 10 tahun untuk mengubah nasibnya menjadi salah satu petani suksesi dan pemilik penyulingan akar wangi terbesar di Indonesia. Dan menurut Sekjen SPP, Agustiana, Haji Deden tidak sendirian. Sedikitnya ada 150 anggota SPP yang sukses seperti Haji Deden, menjadi petani atau pengusaha agraria dengan aset hingga ratusan milyar dan rumah megah.
Moral cerita dari kisah Haji Deden, kiprah KPA dan SPP, adalah: saat negara terbukti gagal menjalankan tugas. Itu saatnya rakyat merebut lahan yang ia pinjamkan, untuk dikelola sendiri, demi menghalau kemiskinannya..