Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) dua hari lalu, tepatnya Selasa (13/6/2023) menggelar Diskusi Publik yang menampilkan Abra P.G Talattov, Kepala Center Food, Energy and Sustainable Development, Ariyo DP Irhamna, Peneliti Center Industry, Trade and Investment, dan Aviliani, Peneliti Senior.
Tema yang diusung “Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024: Perlukah PMN 57 Triliun?”.
Diskusi tersebut diangkat untuk mengkritisi ritual tahunan pemerintah yang selalu memberikan suntikan modal kepada BUMN. Di tengah tata kelola perusahaan negara yang masih lemah, tidak jarang modal yang berasal dari uang rakyat yang dipungut melalui pajak menguap begitu saja karena korupsi atau kerugian yang diderita. Berikut rangkuman diskusi tersebut (Bagian Pertama):
Abra P.G Talattov mengajak masyarakat untuk setiap waktu mengkritisi, tidak bisa menerima begitu saja usulan yang diajukan oleh Kementerian BUMN mengalokasikan PMN. Masyarakat perlu melihat sejauh mana urgensi usulan PMN terhadap masing-masing BUMN. Efektivitas dari PMN harus ditagih dan menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk mengalokasikan PMN di masing-masing BUMN.
Selama masa pandemi ekonomi mengalami kontraksi dan tentu pada tahun yang penuh tantangan itu BUMN mengalami tekanan sehingga pemerintah pada tahun awal terjadi pandemi banyak memberikan dukungan kepada BUMN.
Namun sekarang kondisinya sudah terjadi pemulihan sehingga akan terrefleksi pada kinerja BUMN ke depan. Tidak ada lagi alasan bagi BUMN bahwa mereka memerlukan dukungan pemerintah yang berlebihan karena situasi ekonominya sudah mulai pulih.
Selain itu, BUMN juga harus mengikuti arah pertumbuhan ekonomi yang ditargetkan pemerintah. Pemerintah memiliki misi Indonesia Maju 2045, menjadi negara maju. Dalam jangka menengah pemerintah sudah mendesain pertumbuhan ekonomi sampai 2026 cukup ambisius yakni di kisaran 5,3-5,8 persen. Artinya ini perlu peran BUMN sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi.
Tantangan lain adalah kondisi APBN yang dalam 3 tahun terakhir menghadapi tantangan luar biasa yang memaksa pemerintah mengeluarkan Perppu yang membolehkan defisit anggaran lebih dari 30 persen dari PDB.
Beruntung APBN hingga April 2023 mencatat surplus 1,12 persen terhadap PDB. Hal ini tidak lepas dari pemulihan ekonomi nasional dan harga komoditas yang masih relatif tinggi sehingga penerimaan naik cukup impresif, sementara dari sisi belanja kenaikannya tidak secepat peningkatan pendapatan negara.
Jangan Ceroboh
Tentu tidak ingin kondisi APBN yang sudah membaik dan di sisi lain memiliki tantangan target ke depan turut dibebani dengan adanya tuntutan untuk mengalokasikan anggaran PMN. Jangan sampai terlena di tengah kondisi fiskal yang sudah mulai membaik, terlalu ceroboh untuk mengalokasikan PMN tanpa melihat urgensinya seperti apa.
Di sisi lain, kondisi saving investment gap BUMN dalam beberapa tahun terakhir mengalami penurunan di tahun 2021-2022. Ini menjadi PR bagaimana mendorong BUMN menjadi mesin pertumbuhan ekonomi.
Jika melihat perbandingan PMN dan dividen yang hasilkan BUMN terlihat pada 2019-2020, laba yang disisihkan BUMN ke kas negara masih lebih besar dibandingkan alokasi modal bagi perusahaan pelat merah. Namun pada periode 2021-2022, alokasi PMN jauh lebih tinggi dibandingkan kontribusi dividen, karena kondisi Indonesia masih mengalami kontraksi ekonomi sehingga negara turun tangan memberikan dukungan dengan memberikan PMN yang cukup agresif dimana pertumbuhannya pada 2021 mencapai 155 persen.
Untuk tahun 2024, alokasi PMN harus dilakukan secara akurat sehingga jangan sampai PMN yang disalurkan tidak kembali dalam bentuk dividen atau perpajakan tetapi menguap begitu saja, tidak berbekas dan kerugian belum tertangani dengan baik di tengah persoalan tata kelola BUMN yang masih cukup menantang.
Selama periode 2018-2022, alokasi PMN secara spesifik untuk BUMN infrastruktur mendapatkan alokasi cukup besar. Ini membuat publik bertanya-tanya, ketika BUMN infrastruktur ini diberikan PMN secara massif apa hasil yang didapat oleh masyarakat, bukan hanya fisik infrastruktur terbangun, tetapi juga bagaimana kondisi kesehatan dari BUMN infrastruktur itu sendiri.
Merongrong APBN
Kita memahami BUMN karya mendapatkan penugasan dan mendapatkan dukungan berupa PMN tetapi faktanya hingga hari ini kondisi kesehatan BUMN karya mendapatkan tekanan yang luar biasa. Tekanan terhadap BUMN karya terus berlanjut hingga 2023 dan tahun tahun mendatang.
Dari pengalaman sebelumnya yang patut dicermati adalah alokasi PMN tidak hanya berhenti di level APBN 2023 tetapi ada juga potensi tambahan PMN di tengah jalan seperti yang terjadi pada 2021. Publik harus mengawal jangan sampai kondisi fiskal yang sudah terlihat membaik menjadi pintu masuk bagi BUMN untuk ‘merongrong’ APBN untuk kembali meminta alokasi PMN.
Mengenai perkembangan PMN, aset, dan leveraging BUMN infrastruktur periode 2015 hingga 2021, seperti untuk PLN sebesar Rp45 triliun, Hutama Karya Rp52,3 triliun yang kemudian diikuti dengan kenaikan aset yang besar, tetapi yang perlu dicatat, meskipun BUMN tersebut mendapatkan PMN dalam konteks untuk mendukung fungsi penugasannya, tetapi beban terhadap BUMN dalam konteks debt to equity juga masih cukup besar, masih cukup menantang.
Waskita Karya, misalnya, memiliki debt to equity ratio sebesar 37,2. Begitu juga Adhi Karya 22,3 dan PP 25,3. Mayoritas BUMN karya memiliki beban atau risiko yang cukup besar karena tidak cukup bagi BUMN tersebut untuk bisa mendukung fungsi penugasan mereka hanya dari PMN semata.
BUMN karya butuh strategi yang cukup fundamental karena dari pengalaman yang ada, pemberian PMN sudah cukup banyak tetapi tidak juga membantu untuk mendukung kinerja/kesehatan BUMN karya.
Ditambah lagi dalam beberapa waktu belakang ini sangat miris mendengar terjadinya fraud dan korupsi yang massif di jajaran BUMN karya yang dilakukan oleh petingginya sendiri. Hal ini menjadi anomali, melukai hati rakyat melihat PMN yang diberikan sudah sedemikian besar tetapi justru terjadi korupsi besar-besaran di tubuh BUMN yang menerima PMN.
Persoalan Besar BUMN
Beban debt to equity ratio dari masing-masing BUMN karya pada periode 2019-2022 yang mendapatkan PMN kondisinya tidak juga membaik, justru semakin meningkat kondisi DER-nya. Ini menggambarkan ada sesuatu persoalan besar yang dihadapi BUMN tersebut di tengah tuntutan untuk melaksanakan proyek infrastruktur yang sangat massif yang dilakukan pemerintah.
Artinya, pemerintah juga mempunyai tanggung jawab untuk melakukan evaluasi terhadap proyek-proyek infrastruktur. Apalagi ke depan proyek infrastruktur akan dibangun lebih agresif lagi. Salah satunya pembangunan infrastruktur untuk IKN. Pembangunan IKN akan jadi beban tambahan bagi BUMN Karya.
Perlu juga ditagih sejauh mana kontribusi BUMN dalam konteks dividen yang menjadi penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Kontribusi BUMN yang digambarkan dalam Kekayaan Negara Dipisahkan (KND) berfluktuasi khususnya pada masa pandemi yang sempat menurun dari Rp66 triliun pada 2020 menjadi Rp30,5 triliun pada 2021, dan Rp40,6 triliun 2022.
Diharapkan dividen tersebut bisa ditingkatkan. Ketika pendapatan dan laba meningkat BUMN harus memutuskan apakah labanya dialokasikan untuk dividen atau menjadi modal ditahan. Perlu dikritisi berapa titik optimal deviden, terutama BUMN yang tidak mendapatkan penugasan, khususnya BUMN perbankan.
Beban Tersamar
Dalam beberapa tahun terakhir BUMN Perbankan mendapatkan bonanza, laba yang cukup massif. Di satu sisi kita merasa terlenakan dan euforia BUMN perbankan mendapatkan profit begitu besar tetapi di sisi lain profit yang besar itu merupakan efek atau imbas dari margin bunga yang juga besar.
Pemerintah harus mereview titik optimum yang seharusnya diperoleh BUMN non penugasan sehingga kita tidak latah melihat dividen yang besar itu, apakah imbas dari BUMN yang menggerogoti masyarakat dalam konteks cost of fund, tarif, maupun harga jual yang tidak efisien.
APBN selain menanggung PMN juga menanggung beban kompensasi untuk BUMN di sektor energi. Kompensasi yang sudah berlangsung sejak 2017 perlu ditinjau kembali karena dengan adanya komponen kompensasi ini menyamarkan adanya dukungan kepada BUMN yang terpisah dari PMN. Dikhawatirkan kompensasi tersebut tidak terrefleksi di tahun fiskal berjalan tetapi terjadi akumulasi piutang dari tahun ke tahun yang harus ditanggung oleh PLN dan Pertamina.
Dilihat dari APBN kita baik-baik saja tetapi BUMN harus menanggung beban penugasan tersebut dalam konteks pencairan dana mengalami keterlambatan atau proses birokrasi yang menyebabkan beban APBN kepada BUMN tersamarkan.