Institute For Development of Economics and Finance (INDEF) dua hari lalu, tepatnya Selasa (13/6/2023) menggelar Diskusi Publik yang menampilkan Abra P.G Talattov, Kepala Center Food, Energy and Sustainable Development, Ariyo DP Irhamna, Peneliti Center Industry, Trade and Investment, dan Aviliani, Peneliti Senior.
Tema yang diusung “Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024: Perlukah PMN 57 Triliun?”.
Diskusi tersebut diangkat untuk mengkritisi ritual tahunan pemerintah yang selalu memberikan suntikan modal kepada BUMN. Di tengah tata kelola perusahaan negara yang masih lemah, tidak jarang modal yang berasal dari uang rakyat yang dipungut melalui pajak menguap begitu saja karena korupsi atau kerugian yang diderita. Berikut rangkuman diskusi tersebut (Bagian Terakhir):
Ariyo melihat BUMN memberikan pemasukan (kontribusi fiskal) kepada negara berupa pajak, PNBP, dan dividen. Kontribusi fiskal BUMN tidak tercapai pada 2021. Dari target Rp413 triliun hanya terealisasi Rp363 triliun.
Sementara itu, porsi laba BUMN semakin mengecil di struktur PNBP pada periode 2005-2023. Ini perlu digaris bawahi terus menerus terkait kontribusi BUMN terhadap fiskal.
BUMN memiliki landasan konstitusi Pasal 33 UUD yang menjadi acuan peraturan di bawahnya hingga ke tingkat peraturan menteri. Dikaitkan dengan kluster usaha BUMN, perlu dikaji kembali sektor mana saja yang mengharuskan ada peran BUMN di dalamnya.
Ariyo melihat sejumlah sektor yang tidak menjadi amanat konstitusi maka BUMN tidak perlu masuk di dalamnya. Dengan dua fungsi yang dimiliki BUMN sebagai wakil negara sekaligus pelaku usaha maka keberadaannya menjadi tidak kompetitif karena adanya BUMN, sehingga banyak sektor yang menjadi hambatan bagi investor asing masuk ke Indonesia.
Di industri pariwisata, misalnya, apakah masih relevan memiliki BUMN yang bergerak di sektor tersebut, seperti perhotelan. Keberadaan hotel di Indonesia yang memiliki jaringan internasional sudah ada sehingga tidak perlu lagi BUMN ada di sektor ini. Industrinya sudah efisien.
Di sini lain, peran BUMN sebagai agen pembangunan (agent of development) perlu dipertegas dalam rencana strategis Kementerian BUMN. Selama ini kantor pusat BUMN lebih banyak terkonsentrasi di Jakarta. Untuk mendorong perannya tersebut, kantor pusat BUMN harus disebar, tidak terpusat di Jakarta atau Pulau Jawa.
Pemindahan kantor pusat BUMN akan lebih optimal hasilnya ketimbang memindahkan ibukota. Banyak studi yang mengungkapkan peran bisnis lebih besar dalam mengembangkan satu kawasan dibanding pemerintahan yang urusannya lebih banyak menyangkut administrasi.
Untuk mengatasi ketimpangan, pemerintah perlu merelokasi kantor pusat BUMN ke luar Pulau Jawa, menempatkannya secara merata seperti di Papua, Sulawesi, Sumatera. Kebijakan ini sesuai dengan amanah konstitusi.
Banyak Tapi Tak Optimal
Sementara itu, Aviliani berpendapat BUMN cukup banyak jumlahnya namun hanya 6 perusahaan yang memberikan kontribusi besar, yakni empat bank plat merah, Telkom, dan Pertamina. Selebihnya memberikan sumbangan yang tidak terlalu besar.
Masalahnya, bagi BUMN yang go public yang sebagian sahamnya dimiliki oleh publik cenderung memiliki kontrol yang ketat. Bank BUMN, misalnya, diawasi oleh publik dan juga OJK, kinerjanya jauh lebih baik.
BUMN yang tidak go public yang menjadi problem sekalipun ada UU BUMN yang menyatakan perusahaan negara harus menjalankan tata Kelola yang baik (GCG). Tapi buktinya banyak sekali BUMN yang melakukan korupsi, melakukan rekayasa keuangan tapi baru belakangan diketahui.
Hal itu menunjukkan GCG di BUMN tersebut tidak jalan yang bisa bersumber dari proses pengawasannya yang tidak berfungsi sekalipun di dalamnya ada BPK, BPKP. Di sini proses governance harus diperbaiki.
Jika proses governance di BUMN tidak diperbaiki maka kecenderungannya berapa pun PMN yang diberikan oleh pemerintah tidak berefek kepada keuntungan dan multiplier effect kepada ekonomi. Kalau tidak mempunyai multiplier effect kepada ekonomi BUMN itu sebenarnya tidak ada gunanya.
Ini harus dipetakan mana BUMN yang harus menghasilkan keuntungan dan mana BUMN yang harus memberikan multiplier effect kepada ekonomi sehingga indikatornya akan berbeda.
Ada juga yang berperan melayani kepentingan umum seperti PLN dan Pertamina yang di dalamnya ada subsidi. Ini harus dibedakan antara produk Pertamina yang bersubsidi dan yang tidak bersubsidi. Kalau tidak dipisahkan maka join cost (biaya gabungan) dinikmati oleh unit usaha yang seharusnya mencari keuntungan, menebeng ke usaha yang mendapatkan subsidi.
Pemisahan BUMN
Usaha yang menyalurkan subsidi sebaiknya berbentuk BLU sehingga terlihat berapa besar subsidi yang diterima dan pertanggungjawabannya, tidak dicampur dalam satu perusahaan. Usaha yang tidak menyalurkan subsidi didorong untuk go public sehingga ada pengawasan oleh publik.
BUMN yang berfungsi mengejar keutungan harus go public tetapi yang terkait dengan multiplier ekonomi harus menggunakan model bisnis yang lain. BUMN karya, misalnya, sudah ada yang go public tetapi kenyataannya tidak bisa memberikan keuntungan karena banyak proyek pemerintah yang harus ditangani. Bahkan mendapatkan pembayaran dari pemerintah terlambat atau terjadi kasus korupsi.
BUMN tidak cukup dibagi dalam holding tetapi harus dipetakan berdasarkan tugasnya mana yang harus menguntungkan, sebagai Badan Layanan Umum (BLU), atau yang memberikan multiplier effect pada ekonomi.
Di sisi lain, jika swasta sudah lebih baik mengapa BUMN harus ada di sektor tersebut. Lebih baik BUMN itu join dengan swasta berbentuk partnership, tidak perlu sendiri. Kalau bersaing PMN akan masuk terus ke BUMN tetapi tidak akan bisa bersaing dengan swasta, kecuali untuk rintisan baru di daerah terpencil untuk membangun ekonomi lokal.
Pembentukan holding BUMN justru menyulitkan. Contohnya, jika BUMN karya dibuatkan holding dimana pinjaman terhadap perbankan yang tadinya perusahaannya bagus, karena digabung maka jadi jelek kinerjanya. Siapa nanti yang menanggung utang terhadap perbankan.
Pengendali Inflasi
Kalau BUMN disatukan maka akan terkena Batas Maksimal Pemberian Kredit (BMPK). Mereka akan menghadapi kesulitan untuk mendapatkan pinjaman baru. Akibatnya tidak bisa mendapatkan proyek padahal pemerintah pada 2023 mulai banyak pembangunan baru proyek infrastruktur. Mau tidak mau harus menambah modal sehingga harus ada PMN.
Namun BUMN karya yang tidak mendapatkan PMN akan menghadapi masalah karena tidak bisa mendapatkan pinjaman, terkendala BMPK dan tidak jelasnya siapa yang akan menangani proyek. Hal ini harus diperbaiki sistem governance-nya.
Setiap ada permintaan PMN harus jelas apakah penambahan ini memang pada proyek pemerintah yang harus ditangani. Perlu juga ada pengukuran. Misalnya, mendapatkan PMN Rp2 triliun maka harus dihitung seberapa jauh multiplier effect nya yang terjadi. Jangan sampai PMN jalan terus tetapi kerugian, tidak ada keuntungan, tidak ada multiplier effect kepada masyarakat.
PMN dibutuhkan untuk BUMN sektor energi dan pangan karena dua bidang ini berdampak kepada inflasi. Melalui kerja sama dengan BUMD, bisa menekan inflasi. Pertamina bisa membuka opsi energi terbarukan, energi substitusi.
BUMN pangan dapat berfungsi tidak hanya sebagai pengimpor tetapi juga pembina BUMD agar daerah bisa mandiri di bidang pangan. Pada saat pandemi, daerah membuktikan bisa mandiri pangan.