Presiden Joko Widodo pada perayaan ke-78 kemerdekaan Indonesia menekankan berbagai isu strategis nasional yang perlu menjadi perhatian.
Meskipun demikian, berbagai tekanan ekonomi dan politik terus terjadi, baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk itu, perlu adanya strategi dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menghadirkan Diskusi Publik Agustusan Ekonom Perempuan untuk membahas masalah ini dengan tema Industrialisasi, Stabilisasi, dan Ekonomi Keuangan Indonesia. Berikut petikannya:
Evi Noor Afifah:
Saya menyajikan tentang peningkatan kapasitas fiskal setelah pidato Presiden Joko Widodo pada 17 Agustus kemarin. Bagaimana pun kondisi fiskal itu nanti menjadi tumpuan pembangunan, yang akan dijalankan. Meskipun APBN bukan satu-satunya sumber tetapi di situ merupakan suatu sumber daya besar yang kemudian bisa dikelola oleh pemerintah.
Kita menghadapi megatrend dunia menuju 2045. Kita juga sedang berada pada masa untuk menyusun dokumen perencanaan jangka panjang dan juga sedang menyelesaikan pembangunan jangka menengah tahun terakhir 2024.
Kondisi demografi global, urbanisasi dunia, ekonomi perdagangan internasional adalah faktor penting dalam perubahan ke depan. Juga ada perubahan struktur dari kelas masyarakat, persaingan sumber daya alam, perubahan teknologi, perubahan iklim yang sudah ada di depan mata, dan perubahan geopolitik, ini semua tentu akan mewarnai bagaimana penyusunan dokumen perencanaan kita di masa depan.
Ketika kita membicarakan tentang perencanaan itu juga tidak lepas dari kondisi kita sendiri. Di sini penting bagi kita melihat bagaimana kondisi atau performa dari APBN, meskipun kita juga perlu mengkritisinya.
Kita juga perlu mengakui, menggunakan data yang ada, bahwa kinerja APBN ini memang menunjukkan adanya perbaikan. Hal ini bisa dilihat dari beberapa indikator dari penerimaan perpajakan yang di situ ada tren positif. Juga terlihat perbaikan kondisi keseimbangan primer dan defisit anggaran.
Ke depan belanja masih tetap terus perlu diatur rapi dan juga ditingkatkan kualitasnya. Kita bisa lihat kondisi tax ratio memang rendah dibandingkan dengan negara lain.
Selama ini di dalam tataran akademik kita bisa melihat apakah kebijakan belanja negara itu bersifat pro-cyclical atau counter cyclical. Kita bisa lihat posisi Indonesia masuk dalam yang pro-siklikal. Kalau kemudian mau mengikuti tren dari negara maju, biasanya menggunakan kebijakan belanja yang sifatnya kontra-siklikal. Kalau mengikuti kebijakan pro-siklikal risikonya adalah rentan terhadap gejolak ekonomi global.
Kemudian bagaimana struktur pendapatan dan belanja. Di sini kita bisa lihat ada pergeseran transfer ke daerah, yang masih menjadi kontributor penting dalam struktur belanja negara, termasuk belanja pegawai.
Bagaimana penerimaan yang terlihat dari rasio perpajakan. Kalau kita melihat data dan kemudian membandingkan dengan beberapa negara lain, maka rasio perpajakan masih rendah. Kondisi rendahnya penerimaan perpajakan ini tentu bisa menjadi kendala ketika hendak mendorong pembangunan.
Dari waktu ke waktu berita tentang permasalahan pajak ini ramai, yang juga menandakan bahwa permasalahan pajak di Indonesia itu masih kompleks karena rendahnya rasio penerimaan pajak tersebut.
Ada beberapa hal yang bisa diidentifikasi, apa saja yang menjadi determinannya, kenapa kemudian rasionya masih rendah. Berdasarkan data jelas terlihat Indonesia masih mengandalkan komoditas untuk menggerakkan ekonomi.
Kontribusi penerimaan pajak juga masih didominasi oleh PPH badan. Sebenarnya ada potensi yang masih bisa dikembangkan misalnya pajak orang pribadi, tetapi selama ini cenderung stabil, stagnan meskipun siklus ekonomi naik turun.
Kemudian, juga ada kendala pada sistem perpajakan yang juga masih perlu ditingkatkan terutama berkaitan dengan fairness, certainty, dan efisiensi. Sektor informal begitu besar yang juga masalah sekaligus sebagai potensi jika berubah naik tingkat menjadi formal.
Bagaimana dengan penerimaan bukan pajak, juga masih rendah dibandingkan dengan negara lain. Penerimaan bukan pajak di Indonesia hanya 2,7 persen, sementara di Brazil 4,9 persen dan Singapura 4,3 persen. Ini terjadi karena masih didominasi oleh penerimaan berdasarkan komoditas.
Bagaimana dengan kualitas belanja pemerintah. Rasio terhadp PDB dari belanja pegawai, belanja barang, subsidi, bayar bunga utang masing-masing lebih besar dari belanja modal sampai tahun 2023.