Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan III 2023 Tak Boleh Diabaikan

Perlambatan Pertumbuhan Ekonomi Triwulan III 2023 Tak Boleh Diabaikan

Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menilai penurunan laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III 2023 merupakan alarm perlambatan ekonomi yang tidak boleh diabaikan.

“Kinerja ekonomi perlu mendapat perhatian serius seiring momentum dimulainya kontestasi politik Pemilu 2024. Para bakal calon presiden dan wakil presiden perlu menjawab tantangan ekonomi saat ini dengan solusi yang mereka tawarkan melalui agenda ekonomi 5 tahun mendatang,” ungkap INDEF dalam tanggapan terhadap kinerja ekonomi triwulan III 2023 yang tertajuk “Pertumbuhan Melambat: Ekonomi Politik Gawat?”, Selasa (7/11/2023).

Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada triwulan III 2023 hanya tumbuh sebesar 4,94 persen (yoy), lebih rendah dibandingkan Triwulan III 2022 yang mencapai 5,73 persen (yoy) maupun kinerja sebelum pandemi, yaitu Triwulan III 2019 sebesar 5,01 persen (yoy).

Menurut INDEF, ketidakpastian ekonomi masih akan membayangi kinerja ekonomi di triwulan IV 2023, sehingga risiko perlambatan pertumbuhan ekonomi masih mungkin berlanjut.

Namun adanya momentum libur panjang Nataru (Natal dan Tahun Baru) dapat menjadi kesempatan adanya peningkatan konsumsi hingga meningkatnya likuiditas yang dapat mengakselerasi kinerja ekonomi.

Ditambah lagi dengan mulai meriahnya pesta demokrasi Pemilu 2024, serta belanja APBN yang masih perlu terus dipacu, menurut INDEF, membuka peluang peningkatan belanja untuk masyarakat. “Diproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia Triwulan IV 2023 sebesar 4,9 persen.”

INDEF merekomendasikan tiga prioritas kebijakan untuk meredam kegawatan ekonomi politik triwulan IV 2023. Pertama, mempertahankan daya beli masyarakat dengan memanfaatkan momentum Natal dan tahun baru serta tidak naiknya harga BBM subsidi.

Untuk bantuan sosial perlu dilakukan reformasi total agar jumlah penerima dikurangi dengan data terbaru dan menambah belanja sosial untuk 10 persen masyarakat terbawah.

Belanja Pemilu juga perlu dioptimalkan untuk mendorong konsumsi masyarakat meningkat maupun sektor-sektor terkait seperti industri makanan dan minuman, industri kertas dan barang dari kertas, percetakan dan reproduksi media rekaman, sektor transportasi dan pergudangan, penyediaan akomodasi dan makan minum serta informasi dan komunikasi yang semakin baik.

Kedua, mengoptimalkan belanja pemerintah pada bulan-bulan terakhir dengan mempercepat belanja modal, bahkan kalau perlu di atas 100 persen mengingat anggaran masih sangat memadai. Memprioritaskan penyelesaian infrastruktur nasional yang masih tertunda.

Ketiga, meningkatkan pasar tradisional ekspor pada mitra dagang utama yang tetap tinggi. Penurunan pasar China, Jepang dan Amerika perlu dibarengi dengan upaya peningkatan ekspor ke negara India, Malaysia, Filipina, Singapura, Vietnam, Taiwan, dan Thailand.

“Hal ini perlu insentif dan pencegahan PHK industri yang terpengaruh dari pelemahan ekspor yakni industri tekstil dan pakaian jadi, industri kulit, barang dari kulit dan alas kaki, industri karet, barang dari karet dan plastik dan industri furnitur,” ungkap INDEF.

Menurut INDEF, ekonomi Indonesia terpapar perlambatan global. Akibat kenaikan harga komoditas beras, minyak bumi, dan emas dalam tiga bulan terakhir, Word Economic Forum pada Oktober 2023 memberikan peringatan bahwa inflasi dunia akan meningkat dari 6,8 persen menjadi 6,9 persen pada 2023.

Bahkan pada Emerging Market and Developing Economies meningkat lebih tinggi dari 8,3 persen menjadi 8,5 persen. Kondisi ini mengakibatkan The FED dan beberapa negara lain juga menaikan suku bunganya, termasuk BI dari 5,75 persen menjadi 6 persen pada 19 Oktober 2023 lalu.

Konsekuensi yang terjadi di dalam negeri melemahkan permintaan kredit hingga di bawah 10 persen. Kenaikan suku bunga memang dapat meredam fluktuasi pasar keuangan, namun hal ini juga akan berdampak pada terancamnya laju pertumbuhan ekonomi.

“Dengan situasi ini, maka tampaknya tekanan masih akan berlanjut hingga awal tahun 2024 manakala inflasi global masih tinggi, khususnya di negara mitra dagang utama Amerika, China maupun Uni Eropa,” ungkap INDEF.

INDEF juga mencatat Indonesia mengalami pelambatan ekspor. Neraca perdagangan mencatatkan surplus 41 bulan, namun sebenarnya kinerja ekspor cenderung mengalami penurunan. Salah satu penyebab utama ekonomi Triwulan III 2023 turun adalah melemahnya sumbangan ekspor yang tumbuh -4,26 persen (yoy).

Beberapa negara mitra dagang utama Indonesia, seperti China dan Korea Selatan mengalami perlambatan ekonomi sehingga diperkirakan impor dari Indonesia semakin berkurang. Situasi ini juga diperburuk oleh melemahnya permintaan beberapa komoditas utama ekspor, seperti minyak sawit, batubara, nikel, gas alam maupun minyak mentah dibandingkan periode yang sama tahun lalu.

Di sisi lain, di tengah pemulihan ekonomi, konsumsi pemerintah Triwulan III justru tumbuh negatif 3,76 persen (yoy), padahal di Triwulan II sempat tumbuh positif. Hal ini menunjukkan belanja pemerintah masih menjadi problem utama ketimbang penerimaan negara.

Jurnalis GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com