Setiap tahun, Ubud Writers & Readers Festival (UWRF) mengangkat tema berbeda yang menghubungkan sastra dengan isu-isu kontemporer seperti lingkungan, politik, sosial, masyarakat adat, dan budaya. Programnya mencakup panel diskusi, acara makan bersama dengan penulis, lokakarya menulis, dan pertunjukan seni, menjadikan UWRF sebagai ruang untuk dialog lintas budaya dan kolaborasi global.
Tema UWRF 2024 yang sedang berlangsung minggu ini adalah Speak the Truth, Practice Kindness (Berkatalah Jujur, Berbuatlah Baik). Salah satu pembicara dengan acara terbanyak di UWRF 2024 adalah Amitav Ghosh. Ia terutama dikenal sebagai novelis, tetapi karya-karyanya juga menegaskan posisinya sebagai penulis non-fiksi yang berpengaruh, dan intelektual publik terkemuka.
Amitav dengan kemampuannya menggabungkan sejarah, politik, dan lingkungan dalam karya sastra, meraih berbagai penghargaan bergengsi melalui tulisan-tulisannya. Dalam beberapa tahun terakhir, Ghosh semakin fokus pada krisis iklim, terutama melalui buku-bukunya The Great Derangement: Climate Change and the Unthinkable (2016) dan The Nutmeg’s Curse: Parables for a Planet in Crisis (2021). Kedua buku itu menyoroti bagaimana krisis iklim tidak hanya berakar pada masalah teknis dan ilmiah, tetapi juga budaya, sejarah, dan ekonomi.
Dalam The Great Derangement, Ghosh mengkritik sastra modern karena gagal menangkap urgensi krisis iklim. Menurutnya, karya sastra kontemporer terlalu terpaku pada realisme dan tidak mampu menggambarkan peristiwa ekstrem seperti bencana alam dan perubahan iklim. Hal ini, menurut Ghosh, mencerminkan ketidakmampuan masyarakat modern untuk membayangkan realitas yang tidak nyaman atau mengejutkan, yang dia sebut sebagai “kegilaan kolektif.” Sastra, dalam pandangannya, seharusnya tidak hanya menggambarkan dunia seperti adanya, tetapi juga membuka imajinasi tentang bagaimana dunia dapat berubah di tengah krisis.
Ghosh melanjutkan eksplorasinya dalam The Nutmeg’s Curse, dengan menggali hubungan antara sejarah kolonialisme dan krisis ekologi modern. Dalam buku ini ia mengisahkan penaklukan Kepulauan Banda oleh VOC demi menguasai pala. Ghosh menggunakan peristiwa tersebut sebagai analogi untuk membahas perubahan iklim dan masalah lingkungan masa kini.
Ia berargumen bahwa eksploitasi sumber daya alam selama masa kolonial telah menciptakan pola-pola kekuasaan dan eksploitasi yang berlanjut hingga hari ini, terutama melalui kapitalisme dan industri bahan bakar fosil. Krisis lingkungan saat ini, menurut Ghosh, tidak bisa dipisahkan dari sejarah panjang ketidakadilan global dan kolonialisme.
Buku terbaru Ghosh, Smoke and Ashes: Opium’s Hidden Histories (2023), memperdalam narasi tentang kekuasaan dan eksploitasi. Buku ini mengeksplorasi bagaimana perdagangan opium, yang berlangsung selama berabad-abad, menciptakan ketergantungan dan korupsi sosial yang bertahan hingga masa kini. Ghosh menarik paralel antara perdagangan opium dan krisis opioid modern, menunjukkan bahwa pola-pola eksploitatif dari masa lalu terus tercermin dalam masyarakat kontemporer. Melalui narasi ini, ia menekankan bahwa untuk memahami dan mengatasi krisis global, termasuk perubahan iklim, kita perlu melihat sejarah dengan lensa yang lebih kritis dan komprehensif.
Ghosh percaya bahwa solusi untuk krisis iklim dan sosial tidak hanya datang dari teknologi atau kebijakan baru tetapi juga dari perubahan cara bercerita. Dalam karya-karyanya, ia menekankan bahwa sastra dan seni memiliki peran penting dalam membuka imajinasi kolektif untuk melihat kemungkinan dunia yang lebih adil dan berkelanjutan.
Melalui karya seperti The Great Derangement, The Nutmeg’s Curse, dan Smoke and Ashes, Ghosh mengajak pembacanya untuk berpikir lebih dalam tentang hubungan antara manusia dan alam serta cara menghadapi krisis global. Ia mengingatkan bahwa narasi-narasi baru yang lebih inklusif dan berwawasan luas sangat dibutuhkan untuk membangun masa depan yang berkelanjutan dan selaras dengan lingkungan.
Di UWRF selain berbicara tentang buku-bukunya. Avitav Ghosh dengan istrinya Deborah Barker yang juga penulis ternama, bersama Janet deNeefe pendiri UWRF, akan berlayar selama 9 hari ke Kepulauan Banda untuk Spice Island Tour (Wisata Pulau Rempah).
Bagi pencinta sastra, perjalanan demikian mungkin akan menambah wawasan tentang apa yang dikatakan Ghosh sebagai narasi yang melibatkan sejarah dan ekologi. Ini dapat membantu masyarakat memahami bahwa perubahan iklim bukanlah masalah terisolasi, tetapi bagian dari jaringan kompleks ketidakadilan dan eksploitasi yang telah berlangsung lama.