COP29, Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim, yang baru saja berakhir di Kota Baku, Azerbaijan, tidak terlepas dari data, angka, dan fakta yang membingungkan bagi sebagian orang. Padahal yang seharusnya menjadi perhatian adalah kelompok miskin dan rentan, yang sering kali tidak memiliki sumber daya untuk beradaptasi dengan bencana iklim maupun melindungi kehidupan dan penghidupan mereka.
Di tengah itu semua, kiranya sastra, sebagai bentuk ekspresi kreatif manusia yang dituangkan melalui bahasa lisan maupun tulisan, dapat menjadi jembatan, karena memiliki kekuatan untuk menyentuh hati dan menggugah kesadaran, dengan membawa pemahaman terhadap isu yang terasa jauh menjadi sesuatu yang relevan, dan personal. Melalui gagasan, perasaan, atau cerita yang bermakna, sastra mampu menggambarkan dampak perubahan iklim dalam kehidupan sehari-hari, menggerakkan empati, dan bahkan memicu tindakan nyata.
Sebagai contoh, adalah sebuah novel bestseller berjudul Ministry for the Future karya penulis Amerika, Kim Stanley Robinson. Plot dalam buku ini berkisar pada Frank May, seorang pekerja sosial yang trauma karena gelombang panas di India Utara pada 2025 dengan 20 juta korban jiwa. Secara mencekam Robinson menjalin fiksi dengan fakta ilmiah yang akurat serta kejadian nyata dalam perundingan perubahan iklim dunia dengan peran Ministry for the Future, sebagai bagian dari PBB yang bertugas mengatasi krisis iklim global.
Novel mendekatkan data yang abstrak melalui cerita personal seperti yang dialami sehari-hari. Dengan membawa pembaca pada kisah detail di masa depan yang akan berubah, maka pembaca akan lebih mudah membayangkannya, demikian Robinson yang karya-karyanya telah diterjemahkan ke 25 bahasa dan memperoleh banyak penghargaan.
Namun, sastra tidak hanya mencatat penderitaan, karena juga menjadi medium untuk membayangkan masa depan yang lebih baik. Di saat banyak orang terjebak dalam pesimisme, sastra menawarkan harapan. Solusi-solusi inovatif, hubungan harmonis antara manusia dan alam, serta keberlanjutan yang terwujud dapat digambarkan dengan indah, memantik imajinasi dan inspirasi. Harapan inilah yang mendorong pembaca untuk percaya bahwa perubahan itu mungkin, dan setiap tindakan kecil dapat menjadi bagian dari narasi besar penyelamatan bumi.
Selain itu, sastra sering kali menjadi suara bagi mereka yang terpinggirkan, masyarakat adat yang kehilangan tanah leluhur mereka, komunitas pesisir yang terancam oleh naiknya permukaan air laut, atau spesies yang perlahan punah. Dalam cerita-cerita ini, ada kritik tajam terhadap ketidakadilan ekologis, eksploitasi berlebihan, dan kebijakan yang abai terhadap keseimbangan alam.
Sebuah perhelatan hebat terkait “Bumi dalam Lensa Sastra,” kini sedang berlangsung di Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Event tersebut adalah “Festival Sastra Internasional Jakarta 2024. F/ACTA Kata-kata dan Tindakan Selaras pada Sastra Ekologi x JakTent Berbagi Budaya, Berbagi Masa Depan.”
Bersama Damayanti Buchori dari IPB, Martin Suryajaya dari IKJ, serta Saras Dewi dari UI, saya senang mendapat kesempatan berinteraksi dengan audiens di Teater Wahju Sihombing melalui Forum Penulis, dengan Panel “Menerjemahkan Ilmu Pengetahuan dan Menjangkau Publik.” Di sini saya menawarkan kembali peran memoar, genre sastra nonfiksi, yaitu narasi pribadi yang merefleksikan momen penting dalam kehidupan penulis, sekaligus menawarkan wawasan melalui pengalaman yang telah dilalui. Kisah-kisah pribadi ini mengungkap sisi manusiawi dari isu-isu lingkungan global, menjadikannya lebih mudah diakses dan mampu menciptakan koneksi bermakna yang tidak dapat dicapai oleh data semata.
Kurator acara JILF x JakTent 2024, yaitu M. Aan Mansyur, Isna Marifa, John H. McGlynn, dan Zen Hae mendatangkan sejumlah narasumber yang membahas advokasi lingkungan, kritik ekologi, dan neksus antara sastra dan tanggung jawab sosial.
Buku program yang artistik dan informatif setebal 180 halaman menjadi referensi berharga sekaligus collector’s item, menampilkan rangkaian kegiatan yang berlangsung dari tanggal 27 November sampai dengan 1 Desember 2024.
Adapun mata acara utama meliputi pameran media; pesta 1001 buku; forum penulis; serta peluncuran buku, diskusi, dan kelas puisi. Selain itu juga ada malam anugerah sayembara kritik sastra 100 tahun A.A.Navis “Satirisme Navis” dan malam 100 tahun sastrawan; maupun Malam Puisi: Solidaritas untuk Bumi.