Drama Negosiasi Pendanaan Iklim di Baku

Harapan besar muncul agar Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan, menghasilkan keputusan ambisius untuk mendukung negara-negara berkembang dalam menghadapi krisis iklim. Namun, seperti pada COP-COP sebelumnya, negosiasi berbagai isu berlangsung alot.

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Perhatian utama Konferensi PBB untuk Perubahan Iklim COP29 UNFCCC di Baku, Azerbaijan, tertuju pada pembahasan New Collective Quantified Goal (NCQG), target pendanaan iklim global baru yang harus ditetapkan sebelum 2025 untuk menggantikan target USD 100 miliar per tahun yang disepakati pada 2009. Harapan besar muncul agar konferensi yang dimulai pada 11 November 2024 ini menghasilkan keputusan ambisius untuk mendukung negara-negara berkembang dalam menghadapi krisis iklim. Namun, seperti pada COP-COP sebelumnya, negosiasi berbagai isu berlangsung alot.

Hingga mendekati penutupan pada 22 November 2024, kesepakatan NCQG belum tercapai. Negosiator dari berbagai negara terus berunding untuk mencapai konsensus, sebuah proses yang sangat menantang. Prinsip nothing is agreed until everything is agreed yang diterapkan berarti semua negara harus sepakat terhadap setiap keputusan yang diambil. Proses ini tidak hanya melibatkan isu-isu besar seperti pembagian tanggung jawab pendanaan, tetapi juga detail kecil seperti perubahan kata kerja, kata depan, hingga posisi tanda baca. Selain itu, negosiasi sering merujuk pada keputusan-keputusan di COP sebelumnya, yang semakin memperpanjang waktu diskusi.

Menurut laporan dari Health Policy Watch, negosiasi terancam gagal akibat perbedaan tajam mengenai mekanisme pendanaan untuk negara berkembang. Ekonom independen memperkirakan negara berkembang membutuhkan setidaknya USD 1,3 triliun per tahun untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim, sementara kelompok masyarakat sipil menuntut hingga USD 5 triliun. Hingga kini, dua pertiga dari pendanaan iklim yang diterima negara-negara Global Selatan berbentuk pinjaman. Padahal, 60 negara di kawasan ini sedang menghadapi krisis utang yang parah. Menurut Bank Dunia, kondisi ini merupakan krisis utang terburuk dalam beberapa dekade terakhir. Data PBB menunjukkan bahwa lebih dari 3 miliar orang tinggal di negara-negara yang menghabiskan lebih banyak anggaran untuk pembayaran utang dibandingkan dengan pendidikan dan kesehatan gabungan.

Di tengah situasi tersebut, muncul usulan teks NCQG baru. Dokumen ini mengusulkan angka USD 250 miliar per tahun sebagai pengganti target sebelumnya sebesar USD 100 miliar, mulai 2035. Pendanaan tersebut dirancang berasal dari berbagai sumber, baik publik maupun swasta, termasuk hibah, pinjaman, dan investasi sektor swasta yang diharapkan dapat dimobilisasi. Namun, negara-negara berkembang pasti akan menolak usulan ini, mengingat beban utang yang sudah terlalu berat dan kebutuhan mendesak untuk pendanaan hibah, bukan pinjaman. Akibatnya, pelaksanaan COP29 diperpanjang.

Pada akhirnya, setelah COP29 di Baku, diperpanjang selama dua hari, dengan walk out negosiator negara kepulauan dari ruang sidang, peserta konferensi sepakat untuk meningkatkan pendanaan iklim secara signifikan, terutama bagi negara berkembang. Pendanaan publik yang sebelumnya ditargetkan sebesar USD 100 miliar per tahun kini dinaikkan menjadi USD 300 miliar per tahun hingga 2035. Selain itu, ada komitmen untuk menggalang hingga USD 1,3 triliun per tahun melalui kolaborasi sektor publik dan swasta. Kesepakatan ini, yang disebut sebagai New Collective Quantified Goal (NCQG), bertujuan mendukung negara berkembang dalam menghadapi dampak perubahan iklim dan memanfaatkan peluang transisi energi bersih.

Keputusan lainnya adalah pengesahan standar baru untuk pasar karbon internasional berdasarkan Pasal 6 Persetujuan Paris. Standar ini memungkinkan perdagangan kredit karbon antarnegara, mendorong investasi dalam pengurangan emisi, sekaligus memastikan integritas lingkungan serta transparansi.

Adaptasi juga menjadi prioritas dengan pendanaan yang diperluas untuk memperkuat ketahanan negara-negara rentan terhadap perubahan iklim. Selain itu, isu gender dan transparansi menjadi perhatian utama. Langkah-langkah untuk memastikan partisipasi yang inklusif dan akuntabilitas dalam kebijakan iklim terus didorong agar kebijakan yang dihasilkan lebih adil dan efektif dalam menangani tantangan global. Komitmen ini diharapkan melindungi jutaan nyawa sekaligus mempercepat aksi iklim secara kolektif.

Simon Stiell, Sekretaris Eksekutif UNFCCC, mengakui bahwa kesepakatan yang dicapai di Baku belum sepenuhnya memenuhi harapan semua pihak, dan masih banyak pekerjaan penting yang harus diselesaikan tahun depan.

“Tidak ada negara yang mendapatkan semua yang diinginkan, dan peserta konferensi meninggalkan Baku dengan beban pekerjaan yang besar,” ujar Stiell. “Jadi, ini bukan saatnya untuk bersantai. Kita harus menetapkan fokus dan menggandakan upaya menuju COP30 di Belem, Brasil.”

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com