Menyusuri Inovasi Hijau Silicon Valley

Sebagai langkah awal—sebuah pergeseran nilai yang mulai terlihat. Bahwa desain, infrastruktur, dan sistem kerja mulai dikaitkan dengan tanggung jawab ekologis. 

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Perjalanan saya ke California baru-baru ini menyisakan banyak kesan. Musim semi memperlihatkan wajah terbaiknya—matahari hangat, langit jernih, dan bunga-bunga bermekaran. Di antara hamparan kreativitas dan teknologi mutakhir, saya mengunjungi dua tempat ikonik yang mewakili semangat inovasi dan arah masa depan: Apple Visitor Center di Cupertino dan Googleplex di Mountain View, dua lokasi penting di jantung Silicon Valley.

Silicon Valley adalah kawasan di California Utara yang dikenal sebagai pusat industri teknologi global. Berbagai perusahaan teknologi terkemuka dunia—mulai dari Apple, Google, Meta (pemilik Facebook, Instagram, dan WhatsApp), Netflix, hingga startup visioner—berkantor pusat di wilayah ini. Namun, Silicon Valley bukan hanya tentang teknologi canggih. Ia juga mencerminkan cara pandang baru terhadap desain, gaya hidup, dan keberlanjutan.

Di Apple Visitor Center, arsitektur yang tenang namun canggih—atap melayang, dinding kaca tanpa batas, dan suasana terang yang menyatu dengan lanskap hijau—langsung menyambut. Di dalamnya, bertebaran berbagai produk Apple terbaru yang dapat dicoba oleh pengunjung.

Apple Park sering disebut sebagai kantor pusat teknologi paling berkelanjutan di dunia. Seluruh operasionalnya ditenagai oleh 100% energi terbarukan—baik dari panel surya di atap gedung, pembangkit energi bersih lokal, maupun pasokan energi terbarukan melalui jaringan listrik. Lebih dari 9.000 pohon ditanam ulang di kawasan ini, menunjukkan bahwa desain inovatif dan keberlanjutan bisa berjalan bersama.

Saya kemudian melanjutkan perjalanan ke Googleplex, markas besar Google yang terasa lebih santai, penuh warna, dan terbuka. Di sana berseliweran G-Bikes, yaitu sepeda berwarna merah, kuning, hijau, dan biru yang bisa digunakan bebas oleh karyawan. Tanpa rantai, tanpa kunci, hanya tinggal gowes. Lebih dari 2.000 unit sepeda ini digunakan untuk mobilitas di dalam kampus.

Sepeda ini bukan hanya solusi transportasi ramah lingkungan, tetapi juga simbol budaya kerja yang inklusif dan kolaboratif.

Di dalam Google Store, saya mengamati berbagai perangkat teknologi konsumen buatan Google—mulai dari ponsel pintar Pixel yang dikenal dengan kamera canggih dan integrasi AI, hingga produk smart home Nest seperti kamera keamanan, thermostat pintar, dan layar interaktif. Ruang pamer ini bukan sekadar toko, tetapi juga wadah eksplorasi bagaimana teknologi bisa mendukung kenyamanan, efisiensi energi, dan gaya hidup yang lebih terhubung.

Terlihat bagaimana Google membingkai komitmen keberlanjutannya, termasuk target ambisius untuk mengoperasikan seluruh data center dan kantor mereka dengan energi bebas karbon secara penuh—24 jam sehari, 7 hari seminggu—pada tahun 2030.

Saya juga terkesan melihat mobil-mobil Waymo berseliweran di sekitaran Mountain View —kendaraan otonom tanpa sopir yang melaju tenang, nyaris seperti adegan film fiksi ilmiah. Waymo, yang sebelumnya merupakan inisiatif dari Google, kini beroperasi sebagai perusahaan tersendiri di bawah naungan Alphabet Inc.—induk usaha Google. Waymo bukan sekadar pencapaian teknologi, tetapi juga bagian dari visi masa depan transportasi yang lebih aman dan beremisi rendah. Jika kendaraan tanpa pengemudi ini kelak dipadukan dengan energi terbarukan dan sistem transportasi publik yang inklusif, maka bayangan akan mobilitas perkotaan yang lebih bersih dan efisien bisa benar-benar terwujud.

Baik Apple maupun Google menyadari kekuatan budaya dari merchandise yang berkesan. T-shirt, tumbler, hoodie, dan tote bag dengan logo sederhana namun kuat menjadi cara mereka menyampaikan identitas—dan mengajak pengunjung membawa pulang sebagian dari pengalaman itu.

Sebagai seseorang yang telah lama bergiat dalam isu lingkungan, saya memperhatikan narasi hijau ini. Tetapi juga menyadari bahwa teknologi punya dua sisi: dapat mempercepat solusi, tetapi juga memperbesar konsumsi.

Di sinilah refleksi menjadi penting: apakah nilai-nilai hijau sudah benar-benar tertanam dalam rantai produksi, atau hanya menjadi bagian dari pencitraan?

Saya menganggapnya sebagai langkah awal—sebuah pergeseran nilai yang mulai terlihat. Bahwa desain, infrastruktur, dan sistem kerja mulai dikaitkan dengan tanggung jawab ekologis.

Jika ekosistem kerja seperti ini bisa hadir di pusat-pusat inovasi Asia, barangkali hubungan antara teknologi dan keberlanjutan tidak lagi menjadi dikotomi.

Mungkin belum semua negara bisa membangun kampus hijau seperti Apple Park atau menyediakan sepeda kantor seperti G-Bikes. Tetapi pada akhirnya, pilihan tetap terbuka—tentang asal energi, pola mobilitas, dan perangkat yang digunakan. Setiap keputusan, sekecil apa pun, ikut membentuk jejak ekologis di dunia yang bergerak semakin cepat.

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]