Nairobi, Panggung Lingkungan Dunia

Sebagai panggung lingkungan dunia, Nairobi merangkum harapan akan keadilan global—melalui perjumpaan harmonis antara manusia lintas bangsa, jalinan ragam budaya, keanekaragaman hayati yang mengesankan, serta bentang alam yang memberi ruang bagi keberagaman dan suara yang setara

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Jika hanya ada satu di antara 54 negara di benua Afrika yang dapat saya kunjungi, pilihan jatuh pada Kenya — negeri dengan perpaduan langka antara lanskap yang menakjubkan, satwa liar yang legendaris, ragam budaya, dan peran penting dalam isu lingkungan hidup.

Sebagai rumah bagi Masai Mara National Reserve, Kenya mashur karena fenomena Great Migration — migrasi tahunan jutaan wildebeest (gnu), zebra, dan rusa dari Serengeti National Park di Tanzania ke Masai Mara, yang terjadi karena dorongan ekologis alami, terutama untuk mencari makanan dan air.

Selain migrasi tersebut, Kenya juga dikenal karena keanekaragaman satwa liarnya, termasuk The Big Five: singa, macan tutul, badak, gajah, dan kerbau Afrika.

Terletak di tengah Great Rift Valley, lembah raksasa sepanjang 6.000 km yang membentang dari Suriah di Asia Barat hingga Mozambik di Afrika Tenggara, Kenya menawarkan kekayaan geologi dan geografi yang istimewa. Lebih dari 40 kelompok etnis membentuk mozaik budaya, termasuk Suku Maasai dengan budaya khasnya, kedekatannya dengan alam liar, dan perannya sebagai simbol identitas budaya Kenya di mata dunia.

Nairobi, ibu kota Kenya, telah lebih dari 20 tahun berada dalam daftar impian saya. Di sini berdiri markas besar United Nations Environment Programme (UNEP), atau Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa yang merupakan pengambil keputusan global di bidang itu.

Baru pada Juni 2025, saya akhirnya dapat menjejakkan kaki di kota yang selama ini hanya terlintas ketika menyimak laporan ilmiah, siaran televisi, dan forum daring bidang lingkungan hidup.

Selama sepuluh hari di Nairobi, ada sejumlah kegiatan, termasuk kunjungan ke markas besar UNEP, pertemuan para pengelola organisasi Climate Reality dari 11 negara, dan pelatihan perubahan iklim selama tiga hari yang dipimpin Al Gore, mantan Wakil Presiden AS, bersama para aktivis, ilmuwan, dan komunikator.

Keberadaan kantor pusat UNEP di Nairobi bukanlah kebetulan. Pada 1972, setelah Konferensi Stockholm tentang Lingkungan Hidup, muncul gagasan untuk membentuk Badan Lingkungan PBB. Banyak yang menduga kantor pusatnya akan berlokasi di negara Barat, namun Kenya justru memimpin kampanye agar markas UNEP berada di Global South — sebagai simbol keadilan dan representasi yang lebih seimbang.

Markas besar Perserikatan Bangsa-Bangsa berlokasi di New York, dengan tiga kantor pusat lainnya di Jenewa (Swiss), Wina (Austria), dan Nairobi (Kenya)—masing-masing menjadi tuan rumah bagi berbagai badan dan program PBB.

Kantor UNEP yang berlokasi di Distrik Gigiri kini menjadi bagian dari kompleks United Nations Office at Nairobi (UNON).

Dirancang dengan prinsip ramah lingkungan dan berdampingan dengan Hutan Karura, UNON yang menempati lahan seluas sekitar 57 hektar merupakan kompleks PBB terbesar di dunia, rumah bagi UNEP, United Nations Human Settlements Programme (UN-Habitat), dan mendukung puluhan kantor PBB lainnya.

Kunjungan ke UNON menyentuh batin saya karena di tempat inilah, berbagai perbincangan penting tentang masa depan Planet Bumi berlangsung. Nairobi menjadi titik temu perwakilan berbagai negara, masyarakat sipil, dan komunitas ilmiah, yang semuanya bersuara dalam satu ruang dengan derajat yang sama.

Dalam pelatihan Climate Reality, peserta datang dari berbagai latar belakang—aktivis, pendidik, peneliti, dan pemimpin muda dari berbagai negara di Afrika. Masing-masing datang dengan cerita dan semangatnya sendiri. Banyak dari mereka yang memulai dari rasa cemas terhadap kondisi lingkungan, lalu berkembang menjadi agen perubahan di komunitas masing-masing.

Di sela agenda, saya sempat menjelajahi Nairobi National Park—taman nasional yang hanya berjarak beberapa kilometer dari pusat kota. Melihat The Big Five di habitatnya menjelang matahari terbenam, dengan latar gedung pencakar langit, menjadi pengingat bahwa harmoni antara alam dan kota bukanlah hal yang mustahil.

Perjalanan ini juga memperkaya proses saya dalam mendalami nature-based coaching — pendekatan pelatihan yang memanfaatkan alam sebagai mitra reflektif dan sumber kearifan. Dalam nature-based coaching, lanskap dan ritme alam menjadi pintu masuk untuk menggali kesadaran diri dan transformasi. Pengalaman ini memperluas kosakata metafora dari alam yang dapat saya gunakan, dan memperdalam rasa keterhubungan antara manusia dan semesta sebagai fondasi transformasi berkelanjutan.

Sebagai panggung lingkungan dunia, Nairobi merangkum harapan akan keadilan global—melalui perjumpaan harmonis antara manusia lintas bangsa, jalinan ragam budaya, keanekaragaman hayati yang mengesankan, serta bentang alam yang memberi ruang bagi keberagaman dan suara yang setara.

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]