Pedang Bermata Dua Karbon Biru

Agar karbon biru tidak lagi menjadi pedang bermata dua, diperlukan upaya kolaborasi pentahelix antar elemen-elemen masyarakat untuk memastikan pengelolaan dan konservasi ekosistem karbon biru yang berkelanjutan.

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Indonesia, sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, memiliki kekayaan ekosistem pesisir yang luar biasa, termasuk hutan mangrove dan padang lamun. Kedua ekosistem ini tidak hanya mendukung keanekaragaman hayati, tetapi juga berperan penting dalam mitigasi perubahan iklim, yaitu mengurangi gas rumah kaca penyebab perubahan iklim, melalui penyimpanan karbon yang dikenal sebagai karbon biru.
 
NASA, Badan Penerbangan dan Antariksa AS, memiliki istilah trio karbon biru untuk “Ekosistem Karbon Biru yang Dapat Ditindaklanjuti,”
yaitu hutan bakau, padang lamun, dan rawa asin, yang memainkan peran penting dalam penyerapan dan penyimpanan karbon.
 
Mengapa karbon biru bak pedang bermata dua?
Ekosistem karbon biru memiliki peran penting dalam mitigasi perubahan iklim dengan menyerap sejumlah besar karbon dalam biomassa dan sedimen, melindungi garis pantai dari badai dan erosi, serta mendukung keanekaragaman hayati dan mata pencaharian yang berkelanjutan.
 
Namun demikian, dampak perubahan iklim seperti kenaikan permukaan laut dapat menenggelamkan mangrove dan rawa asin, pengasaman laut merusak padang lamun, dan cuaca ekstrem menghancurkan mangrove serta mengikis rawa asin, yang pada akhirnya melepaskan karbon yang tersimpan dan memperburuk perubahan iklim.
 
Untuk mengatasi tantangan di atas, langkah yang perlu diambil adalah melindungi dan merestorasi ekosistem karbon biru, dan memasukkannya ke dalam kebijakan iklim nasional. Selain itu juga perlu memanfaatkan pasar karbon untuk mendanai konservasi, serta mengembangkan strategi adaptasi untuk meningkatkan ketahanan ekosistem terhadap dampak perubahan iklim.
 
Indonesia diketahui memiliki 17% cadangan karbon biru dunia.
Luas hutan mangrove Indonesia, menurut data Kementerian Kehutanan mencapai 3,44 juta hektar, atau 23% luas hutan mangrove dunia.  Selain hutan mangrove, padang lamun juga memainkan peran penting dalam ekosistem pesisir Indonesia. Ekosistem ini berfungsi sebagai habitat bagi berbagai biota laut, penstabil sedimen, dan penyerap karbon yang efektif. Data World Conservation Monitoring Center, mengindikasikan luas padang lamun di perairan Indonesia mencapai sekitar 1, 78 juta  hektar. Adapun luasan rawa asin di Indonesia belum terdata secara baik.

Sayangnya, potensi karbon biru menghadapi berbagai tantangan yang cukup kompleks. Kementerian Kehutanan mengkategorikan tantangan-tantangan yang dihadapi ekosistem mangrove ke dalam beberapa kelompok utama.
Pertama, tantangan yang berasal dari fenomena alam, seperti gelombang laut yang besar, badai, serangan hama, dan penyakit yang menyerang mangrove. Kedua, tantangan yang terkait dengan kondisi biofisik akibat aktivitas manusia, termasuk kegagalan sistem hidrologi dan dampak dari polusi. Ketiga, tantangan dalam ranah sosial yang juga disebabkan oleh faktor antropogenik, meliputi rendahnya kesadaran, kurangnya pemahaman, minimnya minat, terbatasnya pengetahuan masyarakat, serta lemahnya kolaborasi di antara para pemangku kepentingan.

Pendekatan melalui bisnis karbon biru dapat memanfaatkan restorasi ekosistem pesisir untuk menciptakan pendapatan melalui kredit karbon, jasa ekosistem, dan industri berkelanjutan. Selain menghasilkan manfaat ekonomi, upaya ini juga memberikan dampak positif bagi iklim, lingkungan, dan sosial.

Sumber pendapatan dalam model bisnis karbon biru meliputi kredit karbon, pembayaran jasa ekosistem, ekowisata, perikanan berkelanjutan, sponsorship korporasi, kompensasi keanekaragaman hayati, pendanaan iklim, pembayaran mitigasi bencana, hingga program edukasi. Strategi ini menjadikannya berkelanjutan secara finansial sekaligus mendukung upaya perlindungan lingkungan dan pemberdayaan sosial.

Keberhasilan model bisnis bergantung pada berbagai pemangku kepentingan, seperti komunitas lokal sebagai penjaga ekosistem, investor yang menyediakan dana, pemerintah sebagai regulator, perusahaan yang membeli kredit karbon, serta LSM dan ilmuwan yang memberikan keahlian. Lembaga pendanaan iklim, platform pasar karbon, dan pengguna ekosistem seperti nelayan atau wisatawan juga berperan dalam menciptakan sinergi untuk keberhasilan proyek.

Manfaat yang dihasilkan sangat signifikan, meliputi mitigasi perubahan iklim, pertumbuhan ekonomi melalui sektor berkelanjutan, perlindungan keanekaragaman hayati, dan pemberdayaan komunitas. Dengan mengintegrasikan berbagai elemen ini, model bisnis karbon biru menjadi solusi holistik untuk restorasi ekosistem pesisir yang mendukung aksi iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Karbon biru menawarkan solusi alami yang efektif dalam mitigasi perubahan iklim. Dengan potensi yang dimiliki, Indonesia berada pada posisi strategis untuk memanfaatkan ekosistem pesisirnya dalam upaya pengurangan emisi karbon. Namun, agar karbon biru tidak lagi menjadi pedang bermata dua, diperlukan upaya kolaborasi pentahelix antar elemen-elemen masyarakat untuk memastikan pengelolaan dan konservasi ekosistem karbon biru yang berkelanjutan.

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]