Bagaimana kita memaknai atau menafsir pernyataan Presiden Prabowo. "Pak Jokowi itu ndak pernah nitip apa-apa sama saya. Nggak ada itu Prabowo takut atau dikendalikan sama Jokowi. Untuk apa saya takut sama beliau? Aku hopeng sama beliau kok, ya kan?" ia bertanya.
Tapi pertanyaan itu justru menimbulkan tanda tanya publik. Mengapa presiden perlu merespon secara formal persepsi publik, spekulasi bernuansa teori konspirasi, terkait relasi politisnya dengan Jokowi? Disampaikan di acara yang tidak pas pula, dalam sambutan peresmian sebuah pabrik petrokimia.
Adanya persepsi publik, Prabowo terkesan takut atau dikendalikan Jokowi, itu tidak bisa dihapus dengan penyangkalan, sekedar pernyataan. Tapi harus dengan tindakan dan kebijakan. Kesan itu bisa saja tidak benar, tapi "action speaks louder than omon-omon".
Soal adanya "titipan Jokowi", sekadar mengingatkan, ini memang faktual. Yang paling gamblang adalah posisi Kapolri, Panglima TNI, dan belasan menteri di kabinet Prabowo. Selain itu, ada sejumlah warisan kebijakan dan proyek kontroversial era Jokowi, yang bisa dianggap sebagai titipan. Berikut beberapa contoh.
Kota hantu IKN. Jokowi berambisi membangun ibu kota baru sebagai “kota masa depan” yang hijau dan cerdas. Memasarkan kepada investor asing untuk membeayai pembangunannya, agar tidak membebani APBN. Namun tidak ada investor asing yang tertarik, sebagaimana ia janjikan. Akhirnya IKN dibangun memakai dana APBN dan menjadi beban ekonomi.
Hampir 100 triliun dana APBN dihamburkan untuk membangun theme park IKN. Kota "investasi politik" legasi dinasti Jokowi ini, ironisnya, kini dijuluki sebagai kota hantu. IKN dititipkan agar berlanjut pembangunannya, namun dana tidak ada. Solusinya, Prabowo secara omon-omon diplomatis merespon: IKN akan menjadi "ibu kota politik". Entah apa pula itu maksudnya.
Politik Sprindik dan Bansos. Jokowi mewariskan gaya berpolitik oportunistik. Menyalahgunakan aparat negara (kepolisian, kejaksaan, TNI) dan program bansos untuk kepentingan politik "stick and carrot". Pendekatan politik dengan mengkombinasi hukuman (tongkat) dan hadiah (wortel). Tongkat dipakai untuk mengancam atau menghukum pada siapapun yang bersikap kritis atau dianggap sebagai ancaman. Sedangkan wortel digunakan untuk memberi imbalan atau jabatan atas loyalitas dan ketertundukan.
Tongkat telah mendera puluhan aktivis dan politisi yang bersikap kritis, wortel terus dikunyah oleh mereka yang loyal. Gaya politik titipan Jokowi ini sepertinya berlanjut dan diadopsi Prabowo. Sejumlah menteri, pejabat, komisaris BUMN, staf ahli dan staf khusus, penerima wortel, masih menikmati keberlanjutan ini.
Nepotisme Gibranisme. Jokowi pernah bilang "anak-anak saya tak suka politik" tapi tak lama kemudian Gibran jadi walikota lanjut wapres, Kaesang jadi ketua partai, menantunya jadi walikota lanjut gubernur, handai taulan dan kroninya menjadi komisaris BUMN. Nepotisme (bersama korupsi dan kolusi), yang memicu gerakan reformasi 1998, kini kembali dinormalisasi. Jokowi mensofistikasi nepotisme menjadi Gibranisme, melalui putusan MK yang diketuai Paman Usman. Jokowi "menitipkan" Gibran untuk melanjutkan ambisi petualangan politiknya. Fait accompli yang sulit ditolak Prabowo, saat Pilpres 2024, demi kepastian posisi presiden.
Kereta Whoosh yang Whoops. Proyek pencitraan hanya menghasilkan kebanggaan semu. Indonesia tidak menjadi menjadi bangsa maju hanya karena memiliki ibukota baru atau kereta cepat buatan bangsa lain. Satu per satu proyek gemerlap Jokowi mulai membebani. Dari sejumlah bandara, infrastruktur, hingga IKN. Proyek “investasi sosial” Whoosh berskema B2B (busuk to busuk) menyisakan beban utang dan aroma mark-up. Tapi tenang, Prabowo telah "mengambil-alih" tanggung jawab, alih-alih menyelidiki orang yang bertanggung jawab. Proyek titipan Jokowi harus terus dijalankan.
Jokowi sudah pensiun sebagai presiden, tapi terus bergerak aktif memastikan berbagai titipannya benar-benar dijaga. Ia merasa tidak salah pilih menitipkan kepada Prabowo, mantan musuh bebuyutan politik dalam dua kali Pilpres. Mereka saat ini berkoalisi taktis demi berbagi kekuasaan. Namun, dalam sejarah dunia politik otokratik, tidak lazim kekuasaan dibagi, apalagi dititipkan.
Prabowo menampik sinyalemen takut dan dikendalikan Jokowi. Setuju, seorang presiden tak semustinya takut pada mantan yang didera banyak persoalan. Ia justru berani "pasang badan" untuk segala kesalahan Jokowi. Demi menunjukkan soliditas duo hopeng.
Politik Indonesia mirip panggung teater disonansi kognitif. Interaksi duo-monolog Prabowo-Jokowi, mewarnai wacana politik omon-omon, basa-basi, di atas panggung. Di bawah panggung, frama politik kekuasaan sesungguhnya terjadi, persaingan saling sikut dan rebut (ada dua versi Tim Reformasi Polisi sekedar contoh).
Prabowo mengundang Jokowi untuk hadir dalam acara peresmian pabrik petrokimia di Cilegon, tapi hopengnya itu tidak bisa hadir. Adakah kaitan antara ketidakhadiran Jokowi dengan isi sambutan Prabowo? Mungkin ada. Pernyataan "Jokowi ndak pernah nitip apa-apa," boleh jadi, adalah titipan Jokowi -- yang perlu disampaikan Prabowo ke publik.



