Istilah “retret” menjadi bahan perbincangan publik ketika Presiden Prabowo Subianto membawa Kabinet Merah Putih menjalani retret selama 3 hari di Lembah Tidar, Magelang. Dengan suasana yang lebih tenang dan jauh dari dinamika politik harian, kegiatan tersebut dimaksudkan untuk menguji fisik, mempererat ikatan antar anggota kabinet, menyelaraskan visi, dan membentuk kekompakan sebagai satu tim.
Retret bukan hal baru. Sejak dulu, banyak tradisi mengenalnya sebagai jeda yang disengaja dari rutinitas harian. Bukan liburan, bukan pelarian, melainkan ruang yang diciptakan untuk mendengar ulang suara hati. Kata “retret” berasal dari bahasa Latin retrahere—menarik kembali. Artinya, menarik diri dari keramaian untuk mendekat pada yang esensial.
Dalam berbagai tradisi, retret hadir dengan nama dan bentuk yang berbeda, namun memiliki tujuan serupa: menenangkan batin dan menyelami kedalaman diri. Thich Nhat Hanh, biksu Budha dan Zen Master asal Vietnam serta aktivis perdamaian dunia, menghidupkan kembali semangat retret dalam konteks modern melalui komunitas Plum Village di beberapa negara. Salah satu praktiknya, Rains Retreat, diadakan setiap tahun selama tiga bulan. Dalam suasana hening dan penuh kesadaran, para peserta berlatih bersama, dan perlahan mengalami transformasi batin yang dalam dan membebaskan.
Di kalangan Kristen, termasuk Katolik, spiritual retreat menjadi momen khusus untuk berdoa, merenung, dan memperdalam relasi dengan Tuhan, sering kali dipandu oleh rohaniwan atau fasilitator.
Dalam Islam, retret dikenal sebagai khalwat atau uzlah, yakni menarik diri dari hiruk pikuk keseharian untuk berdiam dalam keheningan, berzikir, dan memperdalam hubungan spiritual dengan Allah.
Sementara di tanah Jawa, semedi menjadi bentuk retret di tempat sunyi, untuk mencari petunjuk batin dan meraih ketenangan, berakar pada tradisi Kejawen.
Di masa kini, retret berkembang melampaui batas tradisi, menjadi ruang refleksi yang juga menanggapi tantangan zaman di berbagai bidang —termasuk krisis lingkungan, perubahan iklim, dan keberlanjutan. Dalam suasana hening dan menyatu dengan alam, peserta diajak mengendapkan pikiran, menemukan arah, sekaligus menumbuhkan kesadaran akan peran pribadi dalam menjaga bumi. Banyak keputusan penting justru lahir bukan dari ruang rapat yang padat agenda, tetapi dari momen-momen hening yang menghadirkan kejernihan.
Pada organisasi yang saya pimpin, Climate Reality Indonesia, kami rutin menyelenggarakan staff retreat untuk meninjau pencapaian dan arah program perubahan iklim dengan cara yang inovatif dan inspiratif. Beberapa waktu lalu, saya mengikuti Switch On Retreat selama lima hari di Ubud, Bali, bersama Sinergia Coaching Centre. Retret ini dirancang sebagai ruang reflektif bagi para peserta—bukan untuk menjadi lebih hebat, melainkan untuk mengenali diri secara lebih utuh.
Kegiatan yang dijalani tidak hanya duduk diam, tetapi juga bergerak, mendengar musik, bercerita, menulis, dan merencanakan masa depan. Semua itu menjadi pintu untuk masuk lebih dalam ke ruang batin. Tidak ada sesi yang menggurui. Yang ada justru ruang terbuka untuk bertanya dan mendengarkan.
Melalui photo therapy, journaling, eksplorasi nilai, dan gerak tubuh, muncul kesadaran-kesadaran kecil yang selama ini tertutup oleh rutinitas. Suara air, cahaya pagi, dan aroma tanah basah ikut menemani proses tersebut. Alam Ubud yang indah tidak sekadar menjadi latar, tetapi hadir sebagai sahabat perjalanan.
Bersama 14 peserta dari latar belakang yang beragam, dipandu coach yang mumpuni dengan pengalaman internasional, saya merasakan betapa kuatnya kedekatan yang tercipta ketika kami datang dengan kehadiran tanpa pretensi. Semua saling mendengar tanpa buru-buru memberi solusi. Kami hadir untuk satu sama lain, dan dalam kehadiran itu, ada kehangatan yang menenangkan.
Switch On Retreat menjadi ruang untuk menyadarkan kembali —bahwa manusia bukan hanya sibuk mencapai sesuatu, tetapi juga makhluk yang perlu ruang untuk hadir apa adanya. Kadang, yang dibutuhkan bukan jawaban, melainkan keberanian untuk jujur pada apa yang kita rasakan.
Retret bukanlah kemewahan, melainkan panggilan untuk mereka yang terus dikejar waktu dan dituntut memperoleh hasil sempurna. Dalam dunia yang penuh distraksi dan tekanan, berhenti sejenak bukanlah kelemahan, tetapi bentuk keberanian untuk bisa kembali melangkah dengan lebih jernih, menata arah hidup.
Dan pada akhirnya, retret bukan semata ruang menentukan arah sebuah negara. Ia juga menjadi pelabuhan bagi komunitas untuk merajut visi bersama, dan ruang hening bagi setiap individu untuk kembali menemukan dirinya - seperti mata air yang menyegarkan sebelum kembali melanjutkan langkah.