Presiden Prabowo sedang menghadapi trilema: bukan dua, tapi tiga dilema. Memilih antara menegakkan hukum, cerdik berpolitik, dan terus berkomplot dengan Jokowi. Begini trilemanya:
Pemberian amnesti dan abolisi kepada lawan politik, Hasto Kristiyanto dan Thomas Lembong, yang dipersekusi secara hukum, adalah "jurisprudensi" yang baik. Namun, kebijakan menegakkan hukum yang adil dan bersih, bisa menjadi bumerang baginya, jika tidak konsisten dan total diberlakukan. Mengingat koalisi pemerintahannya berisi banyak orang bermasalah, menegakkan hukum (rule of law) tanpa pandang bulu bisa menjerat dirinya dan orang-orang di sekelilingnya. Ini trilema pertama, soal menegakkan hukum
Pemberian amnesti dan abolisi itu dinilai sebagai kecerdikan politik. Upaya konsolidasi serta rekonsiliasi dengan "oposisi" untuk memperkuat dan mengamankan posisi juga legitimasi Prabowo--setidaknya untuk membangun kesan--sebagai presiden yang amanah dan demokratis . Namun jika konsisten menerapkan prinsip politik nilai, berarti harus menghentikan keberlanjutan tatanan ekosistem politik peninggalan Jokowi 10 tahun terakhir. Politik oligarkis sistemik ala Jokowi telah mengakar, dan membantu Prabowo ke tampuk kursi presiden, Tentu tidak mudah dibuang begitu saja. In trilema kedua, soal kecerdikan berpolitik.
Secara normatif, pemberian amnesti dan abolisi pada Hasto dan Tom telah "mencoreng" muka, kalau bukan memenggal, Jokowi, yang dianggap berada dibalik konspirasi persekusi hukum ini. Prabowo ingin menunjukkan independensi, menampik kesan presiden "boneka", dan ingin menjauh dari bayang-bayang Jokowi.
Namun, sejarah mencatat, Jokowi membantu menjadikan Prabowo presiden. "Utang budi politik" itu ada di pundak Prabowo. Membuatnya harus selalu menjaga kesan (setidaknya di permukaan) -bahwa relasinya dengan Jokowi tetap baik. Adegan berulang lapor-menghadap Jokowi, memuji-muji Jokowi, dan meneriakkan "hidup Jokowi". Semoga cuma skenario partitur politik yang dimainkan untuk memberi kesan masih berkomplot. Ini trilema ketiga, berkomplot dengan Jokowi.
Lazimnya, saat menghadapi dilema, orang harus bisa memilih salah satu opsi yang terbaik. Trilema juga harus memilih, setidaknya dua dari tiga pilihan. Prabowo harus memilih dua opsi antara: menegakkan hukum, cerdik berpolitik, atau berkomplot dengan Jokowi.
1. Jika cerdik berpolitik dan tetap berkomplot dengan Jokowi, maka Prabowo mustahil menegakkan hukum.
2. Jika menegakkan hukum, tapi terus berkomplot denganJokowi, mustahil cerdik berpolitik.
3. Jika cerdik berpolitik dan menegakkan hukum, maka mustahil berkomplot dengan Jokowi.
Menghentikan berkomplot dengan Jokowi adalah paling logis, jika ingin menegakkan hukum dan cerdik berpolitik. Terus berkomplot dengan Jokow (si raja cawe-cawe) adalah tipiikal boneka yang pasti tidak cerdik, selain mustahil bisa menegakkan hukum.
Memilih terus berkomplot dengan Jokowi adalah cerminan pragmatisme politik oportunistik melanjurkan ekosistem politik sprindik dan manipulatif. Prabowo bukan Jokowi--politikus yang "tidak punya beban di masa lalu". Jokowi terbukti menjadi beban di masa depan. Jika Prabowo cerdik berpolitik mustinya memilih untuk tidak terus membawa beban masa lalu ke masa depan. Agar terbebas dari trilema.
Jika ingin menghapus jejak suram politik masa lalunya di era Ode Baru, Prabowo perlu serius dan konsisten menegakkan hukum (rule of law). Ini pilihan orang cerdik. Prabowo masih punya masa depan, untuk memperbaiki beban masa lalunya. Dengan berhenti berkomplot dengan Jokowi - politikus yang tidak jelas masa lalunya. Dan kini menjadi beban bagi masa depan Indonesia.