Sustainability Bagi Pemikir Masa Depan

Sustainability menjadi salah satu elemen utama dalam visi para futuris, yang melihat masa depan sebagai peluang untuk membangun peradaban yang adaptif dan regeneratif, sekaligus mampu menghadapi tantangan yang belum terbayangkan.

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Menjelang akhir tahun, bermunculan analisis tentang Outlook 2025 dalam berbagai bidang di antaranya tentang sustainability, atau keberlanjutan, baik dalam konteks global 17 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), maupun dalam rambu-rambu dunia usaha yang berada di bawah payung praktik lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). 
 
Keberlanjutan bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kebutuhan mendesak. Karenanya, di tengah perubahan iklim, kelangkaan sumber daya, dan tekanan populasi global, para futuris modern menawarkan perspektif tentang bagaimana keberlanjutan dapat menjadi inti dari kehidupan manusia di masa depan.
 
Futuris bukanlah peramal, namun sebuah profesi yang menurut Association of Professional Futurists, mempelajari masa depan untuk membantu memahami, mengantisipasi, dan mempersiapkan perubahan yang akan terjadi. Futuris, yang juga disebut pemikir masa depan, cenderung mengambil perspektif yang lebih luas, mempertimbangkan cakrawala waktu yang lebih lama, dan memasukkan lebih banyak faktor dalam studinya dibandingkan analis ekonomi, spesialis teknologi, kritikus sosial ataupun komentator politik.
 
Permintaan akan pemikir masa depan meningkat seiring dengan kebutuhan bisnis dan pemerintah untuk menavigasi dunia yang semakin kompleks dan berubah dengan cepat. Futuris sering berkolaborasi dengan para profesional seperti insinyur, desainer, dan eksekutif, untuk mengintegrasikan wawasan masa depan ke dalam pengambilan keputusan strategis di dunia usaha.
 
Dengan  latar belakang keilmuan, pemikir masa depan menggunakan berbagai cabang pengetahuan, hasil penelitian, data, informasi ribuan publikasi, dan analisis berdasarkan trend yang berkembang.  Untuk menjadi futuris profesional, seseorang perlu mengembangkan keterampilan dalam berpikir sistemik, perencanaan strategis, dan analisis tren.  Banyak futuris fokus pada satu topik seperti teknologi atau industri, atau mempelajari perubahan sosial atau masalah global seperti kesehatan, perubahan iklim, dan keberlanjutan.

Professor Sohail Inayatullah, UNESCO Inaugural Chair for Future Studies, melalui podcast SDG Learncast menyatakan bahwa setiap masa depan yang lebih baik selalu memiliki kontradiksi, sehingga diperlukan visi baru. Berpikir tentang masa depan bukanlah utopia, tetapi merupakan eutopia. Eutopia menggambarkan masa depan yang realistis dan diinginkan, dengan kondisi lebih baik dapat tercapai melalui usaha dan perencanaan. Utopia, sebaliknya, menggambarkan masa depan yang sempurna namun tidak mungkin tercapai karena sifatnya yang idealistis atau fiktif.

Setiap individu, organisasi, atau negara perlu melihat masa depan sebagai perjalanan jangka panjang yang dipenuhi cerita dan metafora untuk mendorong transformasi ke arah yang lebih baik. Metafora dapat membantu menerangkan visi masa depan dan perubahan dengan cara yang sederhana dan inspiratif. 

Misalnya, metafora terkait sustainability yang paling populer,  “bumi adalah rumah kita bersama,” menggambarkan pentingnya menjaga lingkungan seperti menjaga rumah sendiri, dengan membersihkan, merawat, dan memastikannya nyaman untuk semua penghuni.

Rentang waktu yang biasa digunakan futuris untuk skenario dan strategi masa depan cukup beragam. Majalah Forbes menjelaskan kebanyakan manusia berpikir dalam rentang waktu yang relatif pendek, yaitu beberapa minggu, bulan, atau satu atau dua tahun ke depan. Di sisi lain, para futuris melihat lima, sepuluh, atau bahkan dua puluh tahun ke depan.
 
Para ahli psikologi dan juga peneliti bisnis mempelajari bahwa manusia memiliki fleksibilitas mental untuk berpikir 10 tahun ke depan. Akan tetapi, studi dari Institute for the Future  menyimpulkan bahwa lebih dari setengah penduduk dunia sangat jarang berpikir tentang 10 tahun ke depan.
 
Bernard Marr, seorang futuris dengan lebih dari 4 juta pengikut pada kanal sosial medianya mengatakan, ESG kini menjadi pusat perhatian bisnis global. Menurut Marr, ada empat hal yang perlu diperhatikan dunia usaha pada tahun 2035. Pertama,  Revolusi Regenerasi mendorong perusahaan beralih dari sekadar mengurangi dampak lingkungan menuju pemulihan ekosistem, regenerasi, dan ekonomi sirkular melalui teknologi seperti bioengineering dan reforestasi. Kedua,  ESG di Jantung Strategi Bisnis mengubah fokus dewan direksi untuk berkomitmen pada keberlanjutan, keberagaman, dan hasil yang terukur, bukan sekadar greenwashing. Ketiga, Otomatisasi Masyarakat menggeser peran kerja, memunculkan tantangan keadilan sosial, privasi, dan kebutuhan jaring pengaman seperti universal basic income. Keempat, ESG dalam Geopolitik menjadikan keberlanjutan kunci dalam hubungan dagang, dengan negara-negara yang bertanggung jawab menikmati keunggulan strategis dan ekonomi.
 
Pada dasarnya, sustainability menjadi salah satu elemen utama dalam visi para futuris, yang melihat masa depan sebagai peluang untuk membangun peradaban yang adaptif dan regeneratif, sekaligus mampu menghadapi tantangan yang belum terbayangkan.

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]