Makan siang di Indonesia sering kali berlangsung sederhana—di ladang, di pinggir jalan, di bawah pohon rindang, atau di ruang kantor yang sempit. Namun di balik kesederhanaannya, makan siang menyimpan potensi besar: mempererat kebersamaan, melestarikan tradisi, dan menjaga keberlanjutan.
Buku bilingual Tradisi Makan Siang Indonesia: Khazanah Ragam dan Penyajiannya - Lunch Traditions in Indonesia: Dishes and Displays hadir sebagai pengingat bahwa setiap pilihan yang diambil saat waktu makan siang—apa yang disantap, dari mana asalnya, bagaimana cara menyajikannya—dapat menjadi bentuk kepedulian terhadap bumi.
Gagasan untuk menyusun buku ini berangkat dari pengalaman pribadi saya saat menulis sebuah Bab untuk buku internasional At the Table: Food and Family Around the World, yang menghimpun kisah makan malam dari 38 negara. Dalam edisi tersebut, saya menulis tentang makan malam keluarga di Gorontalo. Buku ini disunting oleh Ken Albala, seorang sejarawan makanan yang telah menulis 30 buku dan menekankan pentingnya mendokumentasikan tradisi kuliner sebelum terkikis oleh globalisasi.
Dari pengalaman di atas, muncul kesadaran bahwa tradisi makan siang di Indonesia sangat layak untuk diangkat secara khusus. Tradisi tersebut tidak hanya menggambarkan kekayaan kuliner, tetapi juga menyiratkan kearifan lokal yang selaras dengan alam. Petani makan di sawah dengan bekal dari rumah. Nelayan menyantap hasil tangkapan segar di atas perahu. Peladang memasak di antara ilalang. Semuanya berbicara tentang hubungan manusia dengan lingkungannya.
Melalui kerja sama antara Omar Niode Foundation, Komunitas Food Blogger Indonesia, dan Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia, diselenggarakan Lomba Menulis Tradisi Makan Siang yang berhasil menghimpun 40 naskah dari 17 provinsi di delapan pulau. Dari papeda di Papua hingga seruit dari Lampung, dari soto Banjar hingga rujak cingur—setiap tulisan membawa kekayaan rasa sekaligus jejak budaya.
Seluruh naskah yang masuk tidak hanya fokus pada resep atau teknik memasak, tetapi juga menggambarkan konteks sosial di sekelilingnya: siapa yang menyiapkan, bagaimana cara menyantap, hingga di mana makanan dinikmati—apakah di ruang makan keluarga, di sudut sawah, atau di sekolah. Bahkan wadah yang digunakan, seperti rantang, daun pisang, atau piring seng, menjadi bagian dari cerita yang tak terpisahkan.
Selain menampilkan keanekaragaman kuliner, buku ini juga menyentuh dimensi keberlanjutan. Mengonsumsi makanan lokal, seperti yang banyak diangkat dalam buku ini, merupakan langkah ramah iklim. Tidak hanya mengurangi jejak karbon dari distribusi pangan, tetapi juga mendukung petani kecil, nelayan tradisional, dan produsen lokal yang menjaga cita rasa serta keberlanjutan ekosistem pangan. Pilihan yang terlihat sederhana, namun berdampak luas.
Pada peluncuran buku di Ubud Food Festival 2025, saya berbincang bersama Mei Batubara, Direktur Eksekutif Yayasan Nusa Gastronomi Indonesia, dan Chef Harry Mangat chef nomaden pendiri Biji Dining di India, tentang bagaimana makan siang bisa menjadi gerakan. Dengan pemandu Robi Bagindo dari MasakTV dan TasteMade, diskusi buku tersebut bukan sekadar menggali aktivitas rutin, tetapi juga mengamati ekspresi cinta pada tanah, budaya, dan generasi mendatang. Makan siang yang bijak adalah makan siang yang mengingatkan bahwa hubungan antara manusia dan bumi bisa dimulai dari satu suapan penuh kesadaran.
Sebagai editor, saya merasa terhormat atas testimoni yang diberikan untuk buku ini oleh beberapa tokoh, antara lain Direktur Penganekaragaman dan Konsumsi Pangan, Badan Pangan Nasional; serta Penasihat Utama Menteri Kehutanan RI. Saya juga sangat tersentuh ketika menyimak setiap naskah yang masuk. Banyak kisah menghadirkan suasana hangat: liwetan di halaman rumah, botram di ladang, maupun makan behidang dalam ritual adat. Makan siang menjadi medium yang merangkul lintas generasi, mempertemukan cerita, dan memelihara kebersamaan.
Di tengah derasnya budaya instan dan layanan pesan-antar, makan siang yang bijak menawarkan ruang untuk kembali pada yang lokal, yang alami, dan yang bermakna. Makan siang bukan hanya soal isi piring, melainkan juga tentang cara menghargai bumi, mengenang akar keluarga, dan merawat masa depan.