Udah..udah…cukup deh, ini sudah keterlaluan! Begitulah kalimat yang keluar dari mulut seseorang yang kesal, darah sudah naik ke otak. Dalam bahasa orang Bule…It’s too much, enough is enough! Sedangkan dalam bahasa ekspresi kaum milenial lebih singkat dan vulgar…Udah deh…gue muak!!! Sementara orang Jawa punya idiom sendiri saat bereaksi terhadap suatu keadaan yang luar biasa kacau nilai dan adab…Jaman edan, sing ra edan ora keduman… Zaman gila, yang nggak gila nggak kebagian.
Begitu kira-kira suasana batin dan umpatan emosi yang keluar dari mulut banyak orang bereaksi atas manuver politik pemilu Jokowi baru-baru ini. Sebagai kepala pemerintah dan kepala negara, ia mengeluarkan sebuah fatwa kenegaraan yang sangat kontroversial, miris, serem, dan mengerikan. Karena disampaikan ke publik didampingi sejumlah petinggi negara sipil maupun militer. Seakan negara bisa diatur menurut maunya, di mana fatwanya adalah hukum yang layak dan bahkan wajib diberlakukan.
Entah dapat bisikan dari mana tiba-tiba Jokowi membuat pernyataan politik kenegaraan yang sangat mengejutkan. Intinya para pejabat tinggi negara dan daerah, seperti para menteri dan jajarannya tentu; juga para Gubernur termasuk Plt Gubernur, boleh berpihak dan mendukung Paslon capres-cawapres tertentu, termasuk juga partai pilihannya. Dalam hal ini, pilihan paslon capres- cawapres yang disodorkan sang bos, Yang Mulia Presiden Jokowi, dengan sendirinya merupakan pilihan wajib untuk dilaksanakan. Secara otomatis pun, fatwa kepala pemerintah dan kepala negara ini, berlaku juga bagi para bupati, camat dan para lurah berikut aparat bawahannya. Fatwa kenegaraan seorang Presiden RI ini, sangat sulit untuk dicerna akal sehat bagi yang paham akan kaidah berkehidupan dalam ranah demokrasi di sebuah negara hukum, Indonesia. Sangat anarkis!
Atas peristiwa ‘anarkis’ hukum (tata negara) ini, banyak yang menangkapnya sebagai kepanikan Jokowi yang terlalu bernafsu untuk memenangkan paslon capres-cawapres pilihannya pada Pemilu 2024 ini. Penyebabnya, karena kian hari perlawanan terhadap politik dinasti semakin membesar. Maka dengan segala cara, dan bagaimana pun cara untuk memenangkan ambisinya, apa pun akan dilakukan olehnya… ’By hook or by crook' pokoke kudu menang! Suatu tindakan yang sesungguhnya sangat tabu dilakukan oleh para pemimpin di sebuah negara hukum yang menjunjung tinggi sportivitas, keadilan, kesetaraan, dalam kaidah demokrasi sebagai nilai.
Wajar saja bila banyak pendapat sebagai reaksi yang mengatakan bahwa inilah kali pertama pemilu menjadi ancaman serius bagi keutuhan NKRI sebagai negara bangsa yang berdasar pada UUD’45 dan Pancasila. Sehingga Gus Mus, Mustofa Bisri, seorang Kiai yang juga budayawan, sempat menyuarakan tangkapan batin dan pikiranya akan situasi Indonesia hari ini yang dimanifestasikan dalam puisinya… ’Negara Republik beraroma Kerajaan’. Hal ini tentunya ditangkap sebagai teguran agar Jokowi tetaplah berdiri dan bertindak sebagai Presiden, bukan seolah sebagai Raja di kerajaan Indonesia. Kalau kata orang Medan…Ini Republik Bung, bukan kerajaan, bah!
Bisa jadi Jokowi lupa, Indonesia sebagai negara terdiri dari ribuan pulau (archipelago). Kondisinya sangat rawan pecah berkeping bila pemimpin tertinggi negara kepulauan ini melakukan tindakan anarkis hukum, semau gue. Karena rakyat di segala penjuru Nusantara terdorong menjadi kehilangan rasa memiliki (sense of belonging) terhadap Indonesia. Semata karena merasa Indonesia sudah cenderung menjadi miliknya keluarga (dinasti) Joko Widodo. Begitu lah kira-kira suasana batin rakyat yang saya tangkap dari berbagai daerah
Ditambah lagi dirangsang oleh kebijakan Kalimantan Timur mampu berdiri sebagai calon Ibu Kota negara. Kalau Kalimantan bisa, mengapa tidak di Sulawesi, Sumatra, Bali, NTT, Maluku, Papua, Aceh, dan lain lain…? Hal yang sempat terpikirkan oleh Bung Karno yang berpikir jauh dan hati-hati untuk melaksanakan gagasannya menunjuk Palangkaraya sebagai kota potensial pengganti Ibu Kota NKRI. Hal yang pernah disampaikan Cak Ruslan Abdulgani kepada saya.
Sekarang saja, IKN sudah menanam masalah berpotensi konflik sebagaimana ditegaskan Dr, Yusril Ihza Mahendra, ahli hukum, berkaitan dengan masalah status tanah yang masih membuka ruang debat kepemilikan. Disamping itu jaminan bahwa dengan hadirnya IKN masyarakat penduduk asli, suku Dayak, akan hidup lebih makmur, masih mereka ragukan. Karena yang sudah jelas terlihat di depan mata, IKN merupakan proyek pusat yang menjadi daerah potensial bagi para konglomerat lokal memperluas kerajaan bisnisnya. Di akhir cerita yang terbayang, penduduk asli lokal hanya akan menjadi penonton, tak lagi menjadi tuan, tapi menjadi kuli para tuan-tuan taipan pemilik modal dari Jakarta.
Nah, dengan masih banyaknya masalah, bukan hanya masalah IKN, sebaiknya Pak Jokowi mencurahkan waktunya untuk menyelesaikan semua ini sebelum masa tugasnya berakhir. Dari pada ‘cawe-cawe’ masalah pemilu-pilpres yang hanya membuat rakyat bingung dan menjadi kehilangan rasa hormat dan kepercayaan kepada Presidennya yang ‘semau gue’ mempermainkan hukum. Termasuk menggunakan hukum seagai senjata politik kekuasaannya. Antara lain melakukan tekanan psikologis ‘memenjarakan’ dalam ketakutan bagi para politisi dan para pimpinan partai bermasalah yang tidak tunduk, Yes and amen untuk mendukung ambisi politiknya, membangun dinasti Joko Widodo. Yah sangat manusiawi, siapa yang gak takut dan ngeri… pakai rompi warna oranye??
Nah, mengapa saya miris, serem, dan ngeri? Karena dalam amatan saya Pak Jokowi tengah bermain dengan api. Belakangan muncul dimana-mana suasana bara dalam sekam. Sudah terasa apinya memanasi bumi pertiwi. Sehingga bayangan konflik horisontal yang signifikan bakal terjadi, semakin menjelma. Semata karena Pak Jokowi langkah politiknya seperti selalu menantang. Tak takut dan tak peduli semakin menggelembungnya perlawanan terhadap dirinya dan pemerintah.
Weleh…piye to iki, sudah jaman semakin ‘edan’ mbok ya hati-hati. Bagaimana kalo tiba-tiba muncul kelompok yang sengaja ‘ngedan’? Secara masif mendesak pertanggungjawaban Pak Jokowi untuk langkahnya belakangan ini yang membuat rakyat menjadi ‘edan’ ? Terkesan semua lupa etika, moral, dan tujuan berbangsa dan bernegara. Karena Presiden tidak lagi menjadi presiden yang melindungi, menyatukan, memberi tuntunan, dan mengayomi seluruh rakyatnya. Karena terindikasi kuat, sekarang keberadaan diri Jokowi sebagai Presiden hanya untuk rakyat yang mau percaya buta terhadap seluruh langkah dan kebijakan politiknya!
Yah…akhirnya, walau banyak yang meragukan doa saya sudah gak bakal manjur, tapi saya tetap memilih mendoakan Pak Jokowi agar mau segera kembali ke jalan yang benar. Jalannya rakyat dan bangsa Indonesia sebagaimana tuntunan berikut tuntutan dan amanat para pendiri proklamator bangsa, Sukarno-Hatta dan kawan-kawan.