Di tengah arus globalisasi yang semakin deras, warisan budaya sering kali terpinggirkan oleh tren modern yang kian mendominasi. Salah satu warisan budaya yang mulai jarang dikenakan adalah blangkon, penutup kepala khas laki-laki Jawa yang memiliki makna lebih dari sekadar aksesori pakaian. Blangkon adalah simbol identitas, kebanggaan, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan oleh leluhur. Namun, seiring waktu, penggunaannya semakin berkurang, terutama di kalangan generasi muda.
Sebagai orang Jawa, kita patut bertanya: Mengapa blangkon semakin jarang dipakai? Apakah ini pertanda lunturnya rasa bangga terhadap budaya sendiri? Jika dibiarkan, bukan tidak mungkin blangkon hanya akan menjadi benda pajangan di museum atau dipakai sebatas acara formal dan upacara adat. Padahal, dalam sejarahnya, blangkon adalah bagian dari kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa, baik di lingkungan bangsawan maupun rakyat biasa.
Makna Filosofis Blangkon
Blangkon bukan sekadar penutup kepala, melainkan manifestasi dari nilai-nilai kehidupan masyarakat Jawa. Setiap lipatan dan bentuknya mencerminkan falsafah mendalam yang mengajarkan tentang kesabaran, kebijaksanaan, serta keseimbangan dalam kehidupan.
Ada dua bentuk utama blangkon yang mencerminkan filosofi berbeda:
1. Blangkon Gaya Yogyakarta
Blangkon ini memiliki tonjolan di bagian belakang yang disebut mondholan, melambangkan "narimo ing pandum" (menerima dengan lapang dada). Filosofi ini mengajarkan orang Jawa untuk selalu bersyukur dan menerima takdir dengan penuh kesabaran, tanpa kehilangan semangat untuk berusaha lebih baik.
2. Blangkon Gaya Surakarta
Berbeda dengan gaya Yogyakarta, blangkon Surakarta tidak memiliki tonjolan di belakang. Bentuknya lebih rapat di kepala, mencerminkan kedisiplinan, keteraturan, serta sikap tegas dalam menjalani kehidupan.Selain itu, motif dan bahan blangkon juga memiliki makna tersendiri, mulai dari melambangkan strata sosial hingga sebagai doa bagi pemakainya.
Blangkon dan Tantangan Zaman
Di era modern ini, semakin sedikit orang yang mengenakan blangkon dalam kesehariannya. Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini terjadi:
1. Kurangnya Sosialisasi kepada Generasi Muda
Pendidikan dan budaya populer lebih banyak mengenalkan tren busana modern dibandingkan kekayaan budaya lokal. Akibatnya, banyak anak muda yang menganggap blangkon sebagai sesuatu yang "ketinggalan zaman" atau hanya cocok untuk acara adat dan pertunjukan seni.
2. Minimnya Adaptasi dalam Tren Fashion Modern
Banyak negara mampu mempertahankan budaya mereka dengan mengadaptasikannya ke dalam mode modern. Misalnya, Jepang dengan kimono kasual, atau Korea Selatan yang mempopulerkan hanbok modern. Sayangnya, blangkon belum memiliki ruang yang cukup dalam dunia fashion modern, sehingga kurang diminati oleh masyarakat luas.
3. Kurangnya Dukungan dari Pemerintah dan Tokoh Budaya
Upaya pelestarian blangkon masih terbatas pada kelompok-kelompok budaya tertentu. Seharusnya, ada dukungan lebih besar dari pemerintah daerah, institusi pendidikan, serta para tokoh budaya untuk mengangkat kembali blangkon sebagai bagian dari identitas nasional.
Revitalisasi Blangkon sebagai Identitas Jawa
Sebagai masyarakat Jawa, kita harus menghidupkan kembali kebanggaan terhadap blangkon. Upaya revitalisasi ini dapat dilakukan melalui berbagai cara:
1. Memasukkan Blangkon dalam Dunia Pendidikan
Sekolah-sekolah dapat memperkenalkan blangkon dalam kurikulum muatan lokal, baik dalam pelajaran sejarah, seni budaya, maupun sebagai bagian dari seragam dalam acara tertentu.
2. Mendorong Penggunaan Blangkon di Berbagai Acara
Blangkon tidak harus selalu dikaitkan dengan upacara adat. Kita bisa menggunakannya dalam acara resmi, pertemuan komunitas, bahkan dalam gaya berpakaian kasual untuk menunjukkan kebanggaan terhadap budaya sendiri.
3. Mempopulerkan Blangkon dalam Industri Fashion
Desainer lokal dapat menciptakan inovasi baru dengan memasukkan unsur blangkon dalam desain mereka. Misalnya, menciptakan blangkon dengan bahan yang lebih ringan, model yang lebih fleksibel, atau motif yang lebih modern agar sesuai dengan selera generasi muda.
4. Mengangkat Blangkon di Media Sosial dan Hiburan
Di era digital, peran media sosial sangat besar dalam membentuk tren. Jika ada lebih banyak influencer, seniman, dan tokoh masyarakat yang menggunakan dan mempromosikan blangkon, maka akan lebih banyak anak muda yang tertarik untuk memakainya.
Blangkon sebagai Kebanggaan, Bukan Sekadar WarisanJepang bangga dengan kimono dan samurai, Korea dengan hanbok dan budaya K-pop, serta India dengan sari dan turban. Lalu, mengapa kita tidak bisa membanggakan blangkon sebagai bagian dari identitas kita?
Sudah saatnya kita berhenti menganggap blangkon hanya sebagai benda kuno yang hanya pantas dikenakan dalam acara tradisional. Blangkon adalah simbol jati diri, pengingat nilai-nilai luhur, dan representasi dari kecerdasan budaya Jawa yang mampu bertahan berabad-abad lamanya.
Kita, sebagai orang Jawa, memiliki tanggung jawab moral untuk melestarikan dan membanggakan warisan budaya ini. Mari mulai dari diri sendiri—gunakan blangkon dengan rasa hormat, ajarkan kepada generasi muda, dan jadikan blangkon bukan hanya sebagai simbol masa lalu, tetapi sebagai bagian dari kebanggaan masa kini dan masa depan.
Jakarta, 16 Februari 2025,
R. Adi Sucipto, S.Ip
Ketua Umum Kerukunan Jawa Tulen
(KEJAWEN)
Kartu anggota digital kejawen,
Kejawen telah bekerjasama dengan Yayasan Filantropi berbasis Blockchain, kedepan kejawen dapat menyalurkan donasi dari yayasan filantropi bagi yang memenuhi syarat.
Untuk itu ajak dan saudara dan rekan untuk bergabung dan registrasi di:
web www.kejawen.com