Dalam tradisi Jawa, kepemimpinan bukan hanya soal kekuasaan, tetapi juga tentang karakter, tanggung jawab, dan kebijaksanaan. Salah satu konsep penting dalam memahami kepemimpinan Jawa adalah Katuranggan, sebuah ajaran yang menggambarkan karakter dan watak seseorang berdasarkan tanda-tanda lahiriah serta sifat batinnya.
Ajaran ini sering digunakan untuk menilai dan memahami seorang pemimpin, apakah ia memiliki kelayakan dan kebijaksanaan dalam mengemban tugasnya. Teori Katuranggan bukan hanya sekadar mitos, tetapi merupakan bentuk filsafat Jawa yang mengajarkan bahwa kepemimpinan harus selaras dengan kodrat, watak, dan tanggung jawab moral.
Namun, dalam dunia modern, banyak pemimpin yang hanya mengandalkan kekuasaan tanpa memperhatikan karakter dan nilai luhur. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk melihat kembali konsep Katuranggan dalam memilih dan menilai pemimpin agar bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang benar-benar bijaksana dan bertanggung jawab.
1. Katuranggan dalam Kepemimpinan Jawa
Dalam budaya Jawa, Katuranggan sering dikaitkan dengan tanda-tanda fisik dan sifat seseorang. Beberapa tipe pemimpin menurut Katuranggan antara lain:
Raja Manggalabrata: Pemimpin yang bijaksana, adil, dan memiliki wibawa tinggi. Ia dihormati bukan karena kekuasaannya, tetapi karena kebijaksanaannya dalam mengambil keputusan.
Raja Wisnupradata: Pemimpin yang penuh kasih sayang dan mengayomi rakyatnya. Ia selalu mengutamakan kesejahteraan dan tidak mudah tergoda oleh nafsu kekuasaan.
Raja Yudhistira: Pemimpin yang jujur, adil, dan selalu berpegang pada kebenaran meskipun menghadapi banyak rintangan.
Raja Prabu Duryudana: Pemimpin yang ambisius, tetapi sering menghalalkan segala cara demi mencapai kekuasaannya. Ia sering mengabaikan suara rakyat dan hanya mengutamakan kepentingan kelompoknya sendiri.
Dalam konteks pemerintahan modern, pemimpin yang baik adalah mereka yang memiliki sifat seperti Manggalabrata, Wisnupradata, dan Yudhistira, bukan mereka yang bertindak seperti Duryudana yang hanya mengejar kekuasaan tanpa memikirkan kesejahteraan rakyat.
2. Pemimpin yang Selaras dengan Kodrat dan Tanggung Jawab
Seorang pemimpin dalam ajaran Jawa harus memahami kodratnya sebagai seorang pengayom, bukan sebagai penguasa yang bertindak sewenang-wenang. Prinsip kepemimpinan Jawa selalu mengutamakan keseimbangan antara kekuatan (kekuasaan), kebijaksanaan (spiritualitas), dan tanggung jawab sosial (kepedulian terhadap rakyat).
Ajaran Katuranggan mengingatkan bahwa pemimpin sejati tidak hanya diukur dari kecerdasannya, tetapi juga dari wirid atau kebiasaan spiritualnya, serta laku atau tindakannya dalam kehidupan sehari-hari. Pemimpin yang baik adalah mereka yang bisa menjadi contoh dan inspirasi bagi rakyatnya.
3. Krisis Kepemimpinan: Ketika Pemimpin Lupa akan Katurangga
Saat ini, banyak pemimpin yang lupa akan nilai-nilai luhur kepemimpinan Jawa. Mereka lebih mementingkan citra daripada karakter sejati, lebih mengejar kekuasaan daripada tanggung jawab, dan lebih sibuk mengumpulkan kekayaan daripada menyejahterakan rakyat.
Akibatnya, banyak kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat kecil, kepercayaan publik terhadap pemimpin semakin menurun, dan nilai-nilai kebijaksanaan Jawa mulai luntur.
4. Mengembalikan Kepemimpinan Jawa yang Berbasis Kearifan Lokal
Untuk menciptakan kepemimpinan yang berkualitas, kita perlu kembali menerapkan nilai-nilai Katuranggan dalam memilih pemimpin. Masyarakat harus lebih bijaksana dalam menilai seorang pemimpin, bukan hanya dari janji-janji politiknya, tetapi juga dari karakternya yang sebenarnya.
Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah:
Memilih pemimpin berdasarkan karakter dan integritas, bukan hanya popularitas.Menanamkan nilai-nilai kepemimpinan Jawa dalam pendidikan dan kehidupan sosial.
Mendorong para pemimpin untuk selalu berpegang pada kebijaksanaan dan nilai moral dalam setiap kebijakan yang dibuat.
Konsep Katuranggan dalam kepemimpinan Jawa bukan sekadar ajaran kuno, tetapi merupakan filosofi yang tetap relevan hingga saat ini. Seorang pemimpin harus memiliki sifat bijaksana, jujur, dan mengayomi rakyatnya, bukan hanya sekadar berkuasa.
Sebagaimana pepatah Jawa mengatakan, "Aja gumunan, aja getunan, aja kagetan, aja aleman", pemimpin yang baik adalah mereka yang tidak mudah tergoda oleh kekuasaan, tidak menyesali keputusan dengan mudah, tidak kaget dengan tantangan, dan tidak manja dalam menghadapi kesulitan.
Maka, mari kita kembali kepada ajaran leluhur dalam memilih dan menilai pemimpin agar bangsa ini dipimpin oleh orang-orang yang benar-benar berjiwa besar dan bertanggung jawab.
Rahayu, Rahayu, Rahayu.
Jakarta, 14 Februari 2025,
R. Adi Sucipto
Ketua Umum Kerukunan Jawa Tulen (KEJAWEN)