Mereka bersepakat perlunya arah baru ekonomi Indonesia ke depan, yakni ekonomi yang lebih berpihak pada keadilan dan kesetaraan ekonomi dan menjadikan ekonomi Indonesia lebih baik lagi untuk mampu mengejar ketertinggalan dan mencapai target empat besar dunia pada 2045.
“Karenanya diperlukan turn around policy dalam ekonomi Indonesia ke depan,” kata Achmad Nur Hidayat, notulensi Urun Rembug para cendekia, guru besar, ekonom dan pakar, kepada redaksi gbn.top.
Urun Rembug digelar secara daring pada Jumat (2/6/2023) dengan menghadirkan naras umber antara lain Faisal Basri, Prijono Tjiptoherijanto, Mas Ahmad Daniri, Said Didu, Fadhil Hasan, Ryan Kiryanto, Didin S Damanhuri, Awalil Rizky, Achmad Nur Hidayat, Aries Muftie, Nurhayati Djamas, Jilal Mardhani, M Abdul Malik, Sabriati Aziz, M. Hatta Taliwang, Mas Roro Lilik Ekowanti, Mufidah Said, Siti Chamamah, Muhammad Chirzin, Fuad Bawazier, Soetrisno Bachir, Marzuki Dea, Ayus A. Yusuf, Dede Juniardi, dan Fachru Novrian.
Selain dua poin di atas, menurut Nur Hidayat, para peserta Urun Rembug juga bersepakat bahwa Presiden tidak boleh cawe-cawe dalam suksesi kepemimpinan 2024. Presiden harus menghindari low politics, yakni politik rendah dengan mencampuri urusan suksesi dan parpol menjelang pemilu 2024. “Presiden sebaiknya memastikan transisi kepemimpinan secara demokratis.”
Poin keempat dari kesepakatan para pakar, adalah perlunya pemberantasan korupsi yang lebih kongkret, karena korupsi saat ini telah benar benar menjadi masalah yang serius bagi Bangsa Indonesia saat ini.
Kelima, para pakar dan ekonom bersepakat bahwa Indonesia adalah negara yang berdasarkan hukum, sehingga hukumlah yang harus ditempatkan sebagai panglima dan bukan politik sebagai panglima.
Keenam, para pakar, cendekia dan ekonom memandang diperlukan upaya untuk merekatkan kembali hubungan antara sesama warga bangsa, antara kelompok dan golongan untuk hidup rukun dan damai berdampingan.
Selain itu, para akademisi dan para guru besar mencatat masalah ekonomi saat ini. Ada lima dampak negatif model ekonomi saat ini diantaranya terjadinya ketidakadilan/ketimpangan nyata, kebocoran dan korupsi yang semakin besar yang pada masa lalu sekitar 30 persen dari APBN saat ini diperkirakan mencapai 57 persen.
Selain itu, otonomi daerah dinilai tidak mensejahterakan rakyat, ekosistem politik yang menyuburkan oligarki, dan struktur tempayan (oligarki) dalam perekonomian menuju struktur belah ketupat yang yang lebih berkeadilan dan sejahtera.
Para guru besar dan akademisi juga menyoroti ada tujuh dimensi yang perlu dilakukan Arah Baru Ekonomi (AB-Nomics) diantaranya, pertama, menggeser orientasi pembangunan yang terlalu GDP oriented ke arah sustainable growth dengan menekankan kepada kesetaraan dan keadilan ekonomi.
Kedua, Arah Baru yang dimaksud adalah pencapaian GDP sebagai faktor indikatif harus diikuti untuk mencapai keberlanjutan secara ekonomi, sosial dan ekologi.
Ketiga, perlunya reformasi pengelolaan fiskal dan moneter yang terlalu terkonsentrasi di Kementerian Keuangan dengan melibatkan peran BAPPENAS. Keempat, orientasi pembangunan menuju penguatan Agromaritim. Kelima, mengembalikan peran vital KPK dan KPPU.
Keenam, membuat indikator-indikator sukses otonomi daerah dan perangkingan daerah-daerah yang sukses. Ketujuh, revisi UU Politik untuk mencegah penguasaan parpol oleh oligarki politik.
Nur Hidayat mengatakan, komitmen para akademis bangsa tersebut memperbaiki kondisi bangsa sangat tinggi dan siap berdiskusi dengan siapapun untuk kemajuan ekonomi yang lebih baik. “Seluruh permasalahan bangsa yang diperbincangkan para guru besar dalam urun rembug tersebut sangat strategis,” ujarnya.
Dia berharap urun rembug seperti ini dapat dilakukan dalam serial diskusi lanjutan yang melibatkan banyak gagasan dan menjadi banyak perhatian publik. “Publik perlu pencerahan dari para akademisi yang tegak lurus memperbaiki bangsa,” katanya.