Diskusi Publik Gerakan Bhinneka Nasionalis (GBN) menyimpulkan Indonesia dinilai baru dapat menjalankan pilpres yang berkualitas tanpa dibayang-bayangi cengkraman oligarki jika ketentuan threshold dihapus, negara membiayai pemilu, ada akuntabilitas serta transparansi.
Diskusi GBN bertajuk Pilpres di Tengah Bayang-bayang Oligarki, Rakyat Dapat Apa? Yang digelar Kamis (10/8/2023) menampilkan dua pembicara yakni dosen Universitas Paramadina Herdi Sahrasad dan Pengurus DPP GBN Dhia Prekasha Yoedha, dipandu oleh moderator Plt Sekjen GBN Frans Aba.
Herdi berpendapat salah satu cara melepas cengkraman oligarki adalah dengan menghapus ketentuan mengenai threshold yang membuat pemilu menjadi mahal sehingga menjadi pintu bagi masuknya oligarki.
Ia berpendapat oligarki muncul setelah adanya ketentuan mengenai threshold. “Dengan ketentuan threshold 4 persen [di parlemen] maka partai harus punya modal ratusan miliar. Pengusaha mengamati kebutuhan ini,” ujar Herdi.
Berbeda dengan pemilu pada tahun 1955 dan 1999 yang dinilainya sebagai yang terbaik, tidak ada ketentuan threshold yang membuat partai bisa menempatkan wakilnya seberapa saja sesuai perolehan suara, misalnya, dua-tiga orang, sehingga tidak dibutuhkan modal besar.
Kini, seorang anggota legislatif harus mengeluarkan biaya hingga Rp10 miliar. Alih-alih memikirkan rakyat, yang ada di benaknya saat menjadi anggota dewan adalah bagaimana mengembalikan dana tersebut. “Rakyat hanya dapat janji-janji. Rakyat sebagai pelengkap penderita,” ujar Herdi.
Threshold juga merugikan demokrasi, menurut Herdi, karena jutaan suara rakyat hilang dari partai yang tidak lolos threshold.
Yoedha berpendapat oligarki sulit dihapus karena ada di setiap tingkatan mulai dari level nasional, provinsi, hingga kabupaten/kota. Ia menyebutkan sejumlah daerah yang dikuasai oligarki dinasti politik di Provinsi Banten yang mengakar kuat. Keberadaannya hanya bisa dikendalikan melalui transparansi. Hak rakyat untuk bicara dijamin.
Namun Yoedha menyayangkan suara rakyat dari daerah dihapus dalam amandemen UUD 45 dengan ditiadakannya utusan daerah dan utusan golongan di MPR.
Di tingkat parpol, ada peluang dalam mendorong transparansi yakni melalui iuran anggota. Namun hal ini tidak berjalan dengan baik karena ada motif tertentu di internal partai yang membuat parpol tidak memiliki dana yang cukup sehingga mengundang oligarki masuk untuk membiayai.
Herdi mengusulkan negara membiayai pemilu untuk mengikis bayang-bayang oligarki. Perhitungannya, dari dana yang menjadi bancakan sekitar Rp75 triliun, separuhnya saja bisa digunakan untuk membiayai parpol, daripada bocor tidak jelas.