Presiden Joko Widodo pada perayaan ke-78 kemerdekaan Indonesia menekankan berbagai isu strategis nasional yang perlu menjadi perhatian.
Meskipun demikian, berbagai tekanan ekonomi dan politik terus terjadi, baik dari dalam maupun luar negeri. Untuk itu, perlu adanya strategi dalam menjaga stabilitas perekonomian nasional.
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) menghadirkan Diskusi Publik Agustusan yang melibatkan sejumlah ekonom perempuan untuk membahas masalah ini dengan tema Industrialisasi, Stabilisasi, dan Ekonomi Keuangan Indonesia. Berikut petikannya:
Eisha Maghfiruha Rachbini:
Saya hari ini akan memaparkan mengenai industrialisasi, sektor industri manufaktur sekaligus menanggapi dari pidato Presiden, yang menekankan perlunya hilirisasi agar Indonisia mendapat nilai tambah yang tinggi. Presiden sangat menekankan pentingnya pengembangan industri hilirisasi. Dan yang penting ini harus diikuti oleh sektor ekonomi baru, yang menjadi potensi untuk mencapai Indonesia emas 2045.
Selain kata kunci industri hilirisasi dan ekoomi baru, bahwa Indonesia memiliki bonus demografi, yang tidak boleh diabaikan dan bagaimana bisa kita kembangkan untuk meningkatkan kapasitas SDM. Ini juga untuk menopang ekonomi baru sebagai sumber pertumbuhan baru.
Karena itu, diperlukan membangun sistem organisasi dan bagaimana yang efisien untuk mendukung ekonomi baru ini dengan visi Indonesia 2045, yang oleh pemerintah sejak tahun 2000-an dalam RPJMN 2020-2024.
Dalam jangka panjang itu kita memiliki agenda bahwa transformasi ekonomi, ingin menumbuhkan yang mempercepat pertumbuhan ekonomi yang berkualitas dan pada akhirnya ingin menjadi negara maju pada tahun 2045.
Lembaga-lembaga internasional sudah banyak memperkirakan Indonesia akan menjadi salah satu dari lima negara yang besar di dunia. Pada saat itu level income per kapita se level dengan negara maju sekitar 20.000 - 30.000 dolar AS per kapita secara tahunan. Itu berarti kita mesti keluar dari jebakan middle income trap, jebakan negara berpendapatan menengah.
Indonesia Emas tahun 2045 tidak lama lagi, hanya sekitar 20 tahun. Tetapi untuk mencapai itu, seperti diprediksi banyak lembaga internasional, Indonesia membutuhkan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Tetapi beberapa tahun lalu kita sempat dilanda oleh pandemi denga akibat pertumbuhan ekonomi negatif. Ini harus dikejar supaya memenuhi pertumbuhan ekonomi tinggi.
Bisa kita lihat dari data dan beberapa berita bahwa kemarin kita sudah mencapai GNI per kapita yaitu 4.580 dolar AS per kapita. Ini menjadikan kita masuk ke kelompok upper middle income countries. Ada peningkatan tetapi Indonesia di Asean posisinya masih di bawah Thailand dan Malaysia yang sudah mencapai 11 ribu dollar per kapita. Tetapi kita lihat penatang baru Vietnam, dulu jauh di belakang kita tetapi sekarang level GNI per kapita sudah hampir mendekati Indonesia di 4.010 dolar AS per kapita.
Jadi ada percepatan akselerasi petmbuhan GNI Vietnam. Sementara itu, kita Indonesia peningkatannya sejak 2011 pertumbuhan GNI melandai. Jika ini terjadi maka harapan untuk lepas dari middle income trap bisa tidak terwujud.
Kalau kita lihat sejarah transformasi dari pertumbuhan ekonomi dari tahun 60-an memang lebih didorong oleh komoditas. Pada tahun akhir 80-an kemudian juga kita merasakan kenaikan harga komoditas oil boom. Pada periode 2005 - 2019 dan sekarang pun setelah pandemi kita masih diuntungkan dengan kenaikan harga komoditas, yang sempat kita rasakan kemarin mendorong ekspor kita naik pesat.
Sebenarnya dalam jangka panjang, kita butuh pertumbuhan ekonomi, yang tidak hanya di didorong oleh komoditas mentah dan untuk karena volatilitas harga di pasar global. Kita butuh pertumbuhan yang lebih berkelanjutan, tumbuh dengan basis yang kuat dari sektor manufaktur yang matang dan mendalam.
Sektor manufaktur ini yang harus terus menerus dibenahi dan diperbaiki. Kalau kita lihat di sektor manufaktur terjadi penurunan kontribusi dari nilai tambah atau kontribusi manufaktur terhadap PDB, yang sudah terjadi sejak tahun 2000-an. Proporsi dari output dimanufaktur terhadap total PDB sekarang hanya 19 persen dimana sebelumnya mencapai 30 persen.
Sektor manufaktur sangat menentukan, berkorelasi sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang semakin menurun. Korelasinya kelihatan sangat kuat, ketika pertumbuhan industri turun, maka PDB-nya turun.
Mengapa Vietnam menyalip Indonesia tidak lain karena sektor industrinya tumbuh lebih cepat dari sektor industri Indonesia, yang terus melemah sejak tahun 2000-an. Peranan sektor manufaktur di Vietnam sudah menyalip Indonesia, yakni 86 persen dari total ekspornya. Sedangkan Indonesia peranan sektor manufaktur begitu lemah hanya sekitar 45 persen. Jadi penekanan presiden terhadap huilirisasi sangat penting ke depan.
Kalau kita lihat perbandingan dengan negara-negara tetangga yang lain, seperti Thailand kontribusi sektor manufaktur lebih tinggi. Jadi kontribusi manufaktur ini sangat besar terhadap perekonomian Thailand. Di Malaysia manufaktur sangat dominan dan peran ekspor dari sektor manufaktur kontribusinya mencapai 93 persen dari toal ekspor. Jadi negara tetangga kita Malaysia tidak lagi mengeskpor bahan mentah yang rendah nilainya.
Selain peranan manufaktur yang lemah dibandingkan negara lain, hal lain yang perlu dibenahi adalah penurunan pertumbuhan produktivitas di dalam sektor manufaktur itu sendiri. Kita lihat ada tren yang semakin menurun dari produktivitas sektor manufaktur. Pertumbuhan produktivitas sektor manufaktur pada era 1990-an sebesar 11 persen turun menjadi sangat rendah pada tahun 2021 yang hanya 1,5 persen. Perhitungan dengan basis tahun 2010 itu sama dengan 1.0 total productivity manufactaure Indonesia menurun terus menjadi 0.90. Sementara, di negara-negara lainnya di ASEAN produktivitasnya meningkat terus.
Berdasarkan data di atas, kunci keberhasilan Indonesia mencapai Indonesia Emas 2045, lepas dari middle income trap dan menjadi ekonomi 5 terbesar dunia, kuncinya adalah sektor industri. Jika kelehaman-kelemahan tersebut di atas tidak dibenahi, maka jangan harap tujuan itu bisa tercapai. Apa yang dilakukan Presiden terus dilakukan dengan industri dan hilirisasi yang menguntungkan Indonesia.