Inklusivitas Pandangan Uskup Larantuka dan Visi Etis Pembangunan Frans Aba

Katolik itu artinya “merangkul semua orang”, maksudnya “seluruhnya” atau “lengkap”, terlepas dari kedok agama, suku, pendidikan dan lain sebagainya. 

Dalam kesempatannya mengunjungi masyarakat Flores Timur di Larantuka dan Adonara, Frans Aba punya momen istimewa bersama Uskup Larantuka. 

Adapun setelah hadir di wilayah Adonara sebagai donatur yang menyumbangkan salib besar untuk kapela di wilayah Paroki Baniona, lalu berziarah ke makam Almarhum Frans Lebu Raya, Frans Aba kemudian diterima secara hangat di Keuskupan Larantuka.

Pada kesempatan berharga tersebut, Frans memohon restu sekaligus memberi laporan dan ucapan terima kasih kepada Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr terkait ziarah salibnya di Stasi Ariona. Lebih daripada itu, dua tokoh dengan nama pelindung spiritual yang sama ini berkesempatan membangun dialog serta berdiskusi seputar pengalaman iman umat hingga terkait persoalan moral, sosial, budaya dan tak lupa gejolak-gejolak politik yang ada. 

Dalam pengakuannya Frans Aba menyatakan bahwa Uskup Larantuka merupakan salah satu tokoh dan pemimpin umat di NTT yang inklusif, yang menolak dengan tegas pengaruh buruk primordialisme dalam bentuk apa pun.

"Terkadang sistem kekerabatan, sistem kesukuan itu positif-negatif mempengaruhi gerak pembangunan. Ketika kita di sana mengembangkan dan mengintensifkan pembangunan tapi ada problem agraria yang berkaitan dengan kesibukan, misalnya. Akhirnya tujuan kita baik tapi nanti tidak bisa berjalan. Maka ada karakteristik setempat yang mesti dikenal, diidentifikasi dan dicari pemimpinnya. Ini perlu ada keberanian dan sikap siap rugi untuk rakyat.... Maka Pak Frans harus (terus) bangun dialog dan beri juga pencerahan...," ungkap Yang Mulia Bapak Uskup Larantuka.

Akan hal ini, menurut Frans Aba, apa yang disampaikan oleh Bapak Uskup adalah benar-benar mencerminkan kedewasaan dan sikap kebapakan visioner dari seorang pemuka Agama. Beliau tidak secara ekslusif menyinggung atau mengutamakan kepentingan umat Katolik atau orang-orang Larantuka saja, tetapi justru beliau begitu kritis mengharapkan agar siapapun yang memimpin NTT ini mesti terlepas dari sekat-sekat kesukuan maupun suku. Beliau ingin agar locus dan focus dari pembangunan di NTT adalah masyarakat itu sendiri, semuanya, tanpa problem kedok apapun. Hal ini tentu saja sejalan dengan prinsip dasar Frans Aba sendiri.

Adapun setelah hadir ke wilayah adonara sebagai donatur yang menyumbangkan salib besar untuk kapela di wilayah Paroki Baniona, lalu berziarah ke makam Almarhum Frans Lebu Raya, Frans Aba kemudian diterima secara hangat di Keuskupan Larantuka.

Pada kesempatan berharga tersebut, Frans memohon restu sekaligus memberi laporan dan ucapan terima kasih kepada Mgr. Fransiskus Kopong Kung, Pr terkait ziarah salibnya di Stasi Ariona. Lebih daripada itu, dua tokoh dengan nama pelindung spiritual yang sama ini berkesempatan membangun dialog serta berdiskusi seputar pengalaman iman umat hingga terkait persoalan moral, sosial, budaya dan tak lupa gejolak-gejolak politik yang ada. 

Dalam pengakuannya Frans Aba menyatakan bahwa Uskup Larantuka merupakan salah satu tokoh dan pemimpin umat di NTT yang inklusif, yang menolak dengan tegas pengaruh buruk primordialisme dalam bentuk apa pun.

"Terkadang sistem kekerabatan, sistem kesukuan itu positif-negatif mempengaruhi gerak pembangunan. Ketika kita di sana mengembangkan dan mengintensifkan pembangunan tapi ada problem agraria yang berkaitan dengan kesibukan, misalnya. Akhirnya tujuan kita baik tapi nanti tidak bisa berjalan. Maka ada karakteristik setempat yang mesti dikenal, diidentifikasi dan dicari pemimpinnya. Ini perlu ada keberanian dan sikap siap rugi untuk rakyat.... Maka Pak Frans harus (terus) bangun dialog dan beri juga pencerahan...," ungkap Yang Mulia Bapak Uskup Larantuka.

Akan hal ini, menurut Frans Aba, apa yang disampaikan oleh Bapak Uskup adalah benar-benar mencerminkan kedewasaan dan sikap kebapakan visioner dari seorang pemuka Agama. Beliau tidak secara ekslusif menyinggung atau mengutamakan kepentingan umat Katolik atau orang-orang Larantuka saja, tetapi justru beliau begitu kritis mengharapkan agar siapapun yang memimpin NTT ini mesti terlepas dari sekat-sekat kesukuan maupun suku. Beliau ingin agar locus dan focus dari pembangunan di NTT adalah masyarakat itu sendiri, semuanya, tanpa problem kedok apapun. Hal ini tentu saja sejalan dengan prinsip dasar Frans Aba sendiri.

"Yang disampaikan oleh Yang Mulia Uskup Larantuka adalah bagaimana seharusnya orang-orang menerjemahkan arti kata “Katolik” dan mempertegas keberadaan Gereja di dunia sebagaimana yang dimuat dalam Katekismus Gereja Katolik. Bahwa Katolik itu artinya “merangkul semua orang”, maksudnya “seluruhnya” atau “lengkap”, terlepas dari kedok agama, suku, pendidikan dan lain sebagainya. Dan saya kira itulah kesadaran fundamental yang saya prioritaskan sejak dulu dan sampai seterusnya, yakni terlibat aktif di ruang publik sambil tetap memperhatikan duka dan kecemasan, serta kegembiraan dan harapan semua masyarakat," ungkap Frans Aba.

Lebih lanjut dalam dialog tersebut Frans Aba juga mengkisahkan bagaimana keterlibatannya dulu ketika menjadi mahasiswa di Malaysia yang turut berperan penting dalam mengadvokasi korban-korban human trafficking di Malaysia. Salah satunya adalah bagaimana Frans Aba mengadvokasi kasus Nirmala Bonat.

"Terus terang saja, saya orang yang lihat langsung dan membantu secara langsung korban-korban perdagangan manusia adal NTT yang ada di Malaysia yang. Waktu itu saya berperan besar dalam membantu Pak Paul Liyanto." Tegas Frans. maksudnya “seluruhnya” atau “lengkap”, terlepas dari kedok agama, suku, pendidikan dan lain sebagainya. Dan saya kira itulah kesadaran fundamental yang saya prioritaskan sejak dulu dan sampai seterusnya, yakni terlibat aktif di ruang publik sambil tetap memperhatikan duka dan kecemasan, serta kegembiraan dan harapan semua masyarakat," ungkap Frans Aba.

Lebih lanjut dalam dialog tersebut Frans Aba juga mengkisahkan bagaimana keterlibatannya dulu ketika menjadi mahasiswa di Malaysia yang turut berperan penting dalam mengadvokasi korban-korban human trafficking di Malaysia. Salah satunya adalah bagaimana Frans Aba mengadvokasi kasus Nirmala Bonat.

"Terus terang saja, saya orang yang lihat langsung dan membantu secara langsung korban-korban perdagangan manusia adal NTT yang ada di Malaysia yang. Waktu itu saya berperan besar dalam membantu Pak Paul Liyanto," tegas Frans.

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com