Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani mengatakan pemerintah bakal mengenakan pajak terhadap aktivitas ekonomi digital. Aturan yang rencananya berlaku mulai tahun depan itu akan menyasar pelaku usaha digital, khususnya kreator konten dan perusahaan asing penyedia layanan digital (OTT) seperti YouTube, Instagram, TikTok, dan Netflix.
Saat memberikan keterangan pers di Jakarta, Senin 14 Juli 2025, langkah tersebut dilakukan guna mengejar target penerimaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2026. Sri Mulyani mengungkapkan pemerintah akan menggunakan media sosial sebagai sumber informasi perpajakan dan alat pemantauan aktivitas ekonomi digital.
"Kami akan mulai menyisir potensi pajak dari media sosial dan data digital untuk mendukung target penerimaan APBN 2026,” katanya.
Sri Mulyani menambahkan langkah pemerintah menarik pajak dari aktivitas digital dan media sosial merupakan bagian dari strategi memperluas basis penerimaan negara di tengah meningkatnya transaksi digital.
Meski demikian, Sri Mulyani memastikan aturan tersebut tidak akan menyasar pengguna media sosial biasa. Mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia ini menyebut ada tiga pihak yang menjadi sasaran, yakni pertama, kreator konten yang memperoleh penghasilan dari monetisasi platform digital.
Kedua, influencer dan selebgram yang menerima bayaran dari endorsement. Ketiga, perusahaan asing yang menyediakan layanan digital berbayar di Indonesia.
Nantinya Direktorat Jenderal Pajak akan memanfaatkan data terbuka dan teknologi digital untuk mendeteksi potensi pajak yang selama ini belum tergarap. Saat ini pemerintah tengah menyiapkan regulasi pelengkap dan sistem pemantauan berbasis data
“Ekonomi digital berkembang pesat dan perlu dimasukkan ke dalam sistem perpajakan agar adil dan merata,” lanjut Sri Mulyani.
Sementara itu Wakil Menteri Keuangan (Wamenkeu) Anggito Abimanyu mengatakan rencana pengenaan pajak dari aktivitas digital adalah bagian dari upaya pengembangan proses bisnis. Selain itu juga untuk penguatan kapasitas penerimaan negara yang berbasis transaksi digital, baik domestik maupun lintas negara.
Saat berbicara dalam rapat kerja dengan Komisi XI DPR RI, di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 14 Juli 2025, Anggito menjelaskan pemerintah berupaya memperluas basis pajak dan mengoptimalkan penerimaan negara. Salah satunya dengan menarik pajak berbasis media sosial dan data digital.
Wacana ini mencul setelah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 tentang pemungutan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 oleh penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik (PMSE). Dalam aturan tersebut, marketplace resmi ditunjuk sebagai pihak pemungut pajak atas transaksi penjualan barang secara elektronik.
"Kami menggali potensi (pajak) itu melalui data analitik maupun media sosial. Langkah ini sudah mulai diterapkan pada 2025, dan akan diperkuat lagi pada 2026," katanya.
Selain pajak digital, kebijakan fiskal lainnya yang bakal diambil pemerintah adalah pengenaan cukai terhadap produk pangan olahan bernatrium (P2OB), penguatan regulasi perpajakan dan Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), serta perbaikan proses bisnis dalam kegiatan ekspor-impor dan logistik.
Berbagai program tersebut disiapkan untuk mendukung optimalisasi penerimaan negara pada 2026, dengan alokasi anggaran sebesar Rp1,99 triliun. Dana ini merupakan bagian dari total usulan pagu anggaran Kementerian Keuangan sebesar Rp52,01 triliun pada 2026
"Dari alokasi anggaran Rp1,99 triliun, tersedia Rp 1,63 triliun. Kami mengusulkan tambahan sebesar Rp366,42 miliar agar program-program tersebut dapat direalisasikan," jelas Anggito.