Coba bayangkan: negara punya tabungan ratusan triliun rupiah, tapi uang itu diam, mengendap, tidak berputar. Sementara di jalanan, daya beli masyarakat merosot, UMKM megap-megap, harga pangan bikin keringat dingin. Di tengah kondisi seperti itu, Menteri Keuangan baru, Purbaya Yudhi Sadewa, datang membawa ide “gila” tapi logis: tarik Rp200 triliun dari Bank Indonesia, hidupkan kembali mesin fiskal dan moneter, lalu dorong agar darah segar itu mengalir ke sektor riil.
Pertanyaan besar yang bikin kita kepo: bisa nggak strategi ini benar-benar sukses di sistem ekonomi dan politik Indonesia yang terkenal rumit, lambat, bahkan korup?
Prakondisi: Lahan Subur atau Ranjau?
Sebelum bicara implementasi, kita mesti jujur soal “prakondisi”. Ada faktor yang bisa mendukung, tapi juga jebakan yang bisa bikin strategi ini mandek.
1. Likuiditas ada, legalitas ada. Dana Rp200T memang nyata, tersimpan dalam SAL/SiLPA. Secara hukum, bisa dipakai. Jadi ini bukan janji kosong.
2. Instrumen dan pengalaman ada. Pemerintah pernah lakukan penempatan dana di bank waktu pandemi lewat Program PEN. Jadi secara teknis, bisa jalan.
3. Kebutuhan mendesak. Daya beli rakyat sedang lemah, kredit perbankan seret, inflasi pangan sensitif. Artinya, ada sense of urgency yang bisa jadi bahan bakar politik.
Tapi di sisi lain:
• Budaya korupsi dan rente. Setiap ada dana besar, selalu ada “tangan-tangan gelap” yang siap menyedot.
• Perbankan risk-averse. Bank lebih suka parkir di SBN atau instrumen BI ketimbang kasih kredit ke UMKM yang dianggap berisiko.
• Koordinasi fiskal–moneter sering seret. BI bisa saja menyerap balik likuiditas kalau inflasi atau rupiah terguncang.
Singkatnya: lahan ini bisa jadi subur untuk pertumbuhan atau ladang ranjau yang meledakkan strategi.
Kunci Sukses Implementasi
Supaya dana Rp200T ini tidak cuma “pindah kantong”, ada beberapa kunci yang harus dijaga:
1. Targeting presisi. Dana harus diarahkan ke jalur yang langsung mengangkat daya beli: bansos digital berbasis NIK, voucher pangan, padat karya, kredit UMKM berbasis invoice. Bukan proyek mercusuar yang lama cair.
2. Transparansi dan dashboard publik. Setiap rupiah harus bisa ditelusuri. Publik bisa cek progress, media bisa ikut jadi pengawas.
3. Koordinasi BI–Kemenkeu. Kalau BI tetap menyedot likuiditas lewat SRBI, semua energi habis di situ. Harus ada kesepakatan jangka pendek: likuiditas ini biarkan mengalir dulu ke masyarakat.
4. Eksekusi cepat. Tidak ada ruang untuk birokrasi bertele-tele. Payment term ke UMKM harus kilat, bansos harus cair tanpa ribet.
5. Sanksi nyata. Kontraktor atau pejabat yang nakal harus ditindak cepat, bukan sekadar jadi headline. Tanpa ketegasan ini, trust publik hilang.
Peran Kepemimpinan Prabowo
Nah, di sinilah peran Presiden Prabowo menjadi sangat krusial. Tanpa kepemimpinan eksekutif yang kuat, strategi ini hanya jadi wacana manis.
• Prabowo sebagai narator. Dia harus membangun narasi tunggal: “Rp200T ini bukan uang elite, ini darah segar untuk rakyat kecil.” Kalau narasi ini konsisten, publik akan jadi penekan moral bagi stakeholder yang coba main-main.
• Prabowo sebagai eksekutor. Harus ada KPI bulanan yang dipantau langsung di rapat kabinet. Menteri, Dirut bank, sampai pemda harus tahu: gagal deliver → siap dipanggil Presiden.
• Prabowo sebagai penjaga integritas. Dia harus berani melawan rente, bahkan kalau itu datang dari lingkaran politiknya sendiri. Buka data, biarkan publik lihat, dan beri dukungan penuh pada lembaga pengawas.
Dengan gaya kepemimpinan yang visioner ke luar, disiplin ke dalam, dan berani hadapi elite rente, peluang sukses strategi ini bisa melonjak dari angka realistis 5–6/10 menjadi 7–8/10.
Nuansa Baru: Purbaya vs Sri Mulyani
Menariknya, strategi ini lahir di bawah Menkeu baru, Purbaya, yang menggantikan sosok kuat Sri Mulyani.
• Sri Mulyani dikenal teknokratis, disiplin fiskal, sangat hati-hati menjaga kredibilitas pasar dan defisit. Hasilnya: APBN relatif stabil, tapi sering dikeluhkan terlalu ketat sehingga mesin ekonomi “dingin”.
• Purbaya datang dengan napas berbeda: lebih proaktif, berani menarik dana tidur, mendorong koordinasi fiskal–moneter, bahkan siap “menantang” BI agar tidak mensterilkan kebijakan fiskal. Nuansa ini lebih “agresif” dan pragmatis, seolah bilang: “Yang penting rakyat bergerak dulu, baru kita rapikan.”
Perubahan ini membawa risiko (inflasi, persepsi independensi BI), tapi juga membuka peluang: APBN tidak lagi sekadar jadi penjaga defisit, tapi mesin pertumbuhan.
Antara Harapan dan Realitas
Strategi Rp200T ini bisa jadi momentum penting: Indonesia menyalakan kembali mesinnya setelah lama berjalan di gigi rendah. Tapi kunci suksesnya bukan hanya soal angka, melainkan soal kepemimpinan.
Jika Presiden Prabowo bisa jadi dirigen yang menyatukan semua instrumen—membangun narasi, menjaga disiplin, dan berani melawan rente—maka langkah Purbaya bisa tercatat sebagai titik balik: dari fiskal yang pasif ke fiskal yang aktif, dari pemerintah yang ragu ke pemerintah yang berani.
Kalau tidak? Rp200T itu hanya akan jadi berita utama, tanpa jejak di dapur rakyat.