Literasi Pangan untuk Masa Depan

Literasi pangan menjadi penting karena dunia sedang dilanda berbagai krisis, seperti perubahan iklim, ketergantungan impor, dan pergeseran pola konsumsi membuat masa depan pangan semakin rapuh.

Ilustrasi: Muid/GBN.top

Literasi pangan berarti kemampuan memahami makanan secara menyeluruh: dari asal bahan, cara produksi, kandungan gizi, hingga nilai budaya dan dampak lingkungan. Ia melampaui keterampilan memasak, menjadi pemahaman kritis tentang bagaimana makanan membentuk identitas sekaligus menuntun arah keberlanjutan.

Indonesia memiliki kekayaan pangan lokal yang luar biasa. Papeda di Papua bukan sekadar bubur sagu, melainkan simbol ketahanan pangan masyarakat. Nasi jagung di Nusa Tenggara mencerminkan adaptasi pada tanah kering. Tempe, yang kini mendunia, berakar dari kearifan fermentasi tradisional. Semua hidangan itu menyimpan pengetahuan dan strategi hidup yang patut dihargai.

Namun modernisasi sering menjauhkan generasi baru dari pangan lokal. Hidangan instan global lebih mudah ditemukan daripada bubur ketan hitam atau singkong rebus dengan parutan kelapa. Pergeseran ini berisiko mengikis tradisi sekaligus melemahkan kemandirian. Padahal, di tengah perubahan iklim dan rantai pasok dunia yang rapuh, pangan lokal justru menawarkan ketangguhan.

Literasi pangan hadir sebagai jembatan. Dengan mengenali dan menghidupkan kembali pangan tradisional, masyarakat bukan hanya menjaga warisan, tetapi juga memperkuat kemandirian. Mengonsumsi pangan lokal berarti menghidupkan ekonomi petani, nelayan, dan perimba. Juga menekan ketergantungan impor serta mengurangi jejak karbon dari transportasi jarak jauh.

Literasi pangan Nusantara akan menjadi sorotan dalam PARARA Mini Festival 2025, Sabtu sore, 13 September, di Plaza Kabaresi Taman Literasi C. Martha Tiahahu, Blok M di Jakarta Selatan. Talkshow Literasi Pangan dan Demo Mask bertema “Jejak Budaya dan Rasa dalam Masakan Tradisional Indonesia” akan memperlihatkan betapa luasnya cakupan literasi pangan melalui suara narasumber dari berbagai bidang.

Maria Stephanie, seorang aktivis muda, merupakan volunteer pada Yayasan Mentari Menerangi Indonesia dan Project Director buku Em He Taha Ten yang berarti “Mari Kita Makan Lagi.” Buku karya anak-anak muda dari Timor Tengah Selatan ini berisi informasi tentang 16 tanaman pangan dan 10 resep.

Mei Batubara, Direktur Yayasan Nusa Gastronomi yang melalui sejumlah riset, pelatihan, dan inovasi , berupaya memajukan kuliner Indonesia dan meningkatkannya ke tingkat internasional. Melalui program Ambassadors Fund for Cultural Preservation dari Kedutaan Amerika Serikat di Jakarta, Nusa menginisiasi Pusaka Rasa Nusantara dan mengadakan perjalanan riset dan keliling Indonesia selama 2 tahun lebih. Hasil perjalanan terebut terangkum dalam empat buku yang bercerita tentang Sejarah dan Budaya Kuliner Indonesia, Bahan Pangan Indonesia, Teknik Masak, serta Resep-resep makanan yang dicatat langsung dari ibu-ibu (dan juga bapak-bapak).

Nara sumber lainnya adalah Seto Nurseto, antropolog pangan dan peneliti kuliner Indonesia yang dikenal lewat ajang MasterChef sebagai finalis pada Seson 8. Latar belakang akademisnya dipadukan dengan kecintaan pada kuliner membuat Seto aktif berbagi pandangan tentang bagaimana makanan tidak hanya dilihat dari sisi rasa, tetapi juga sebagai medium untuk memahami nilai-nilai sosial, sejarah, dan kebudayaan Indonesia.

Saya sendiri, melalui Omar Niode Foundation, akan membicarakan tentang buku “Comfort Food Memoirs: Kisah Makanan yang Menenangkan Beserta Resepnya,” kolaborasi 65 penulis lintas profesi dari seluruh Indonesia. Selain itu juga ada buku bilingual “Tradisi Makan Siang Indonesia: Khazanah Ragam dan Penyajiannya (Lunch Traditions in Indonesia: A Collection of Dishes and Displays)” yang berisi 40 tulisan dari 17 Provinsi di Indonesia.

Diskusi akan dipandu oleh Kang Maman, pegiat literasi yang dikenal piawai menjaga percakapan tetap hangat dan komunikatif. Dengan gayanya yang interaktif, talkshow ini diharapkan menghadirkan suasana cair, seolah mendengar cerita dapur yang akrab, namun penuh makna.

Sekarang literasi pangan menjadi penting karena dunia sedang dilanda berbagai krisis, seperti perubahan iklim, ketergantungan impor, dan pergeseran pola konsumsi membuat masa depan pangan semakin rapuh.

Dengan memahami, menghargai, dan menghidupkan kembali pangan lokal, masyarakat tidak hanya menjaga identitas, tetapi juga menyiapkan arah keberlanjutan. Pilihan yang tampak sederhana di meja makan sesungguhnya menentukan jejak yang akan ditinggalkan bagi generasi mendatang.

Kolumnis
Pegiat Harmoni Bumi

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: [email protected]