Bank Dunia menempatkan Indonesia ke dalam kelompok negara berpendapatan menengah atas. Status ini menunjukkan penduduk Indonesia sejahtera. Salah satu indikatornya bisa dilihat dari berapa banyak simpanan uang penduduk Indonesia di bank-bank.
Bank Indonesia mencatat jumlah Dana Pihak Ketiga (DPK) di perbankan per Juni 2023 sebesar Rp7.799 triliun. Dana tersebut terdiri dari uang korporasi sebesar Rp3.384,9 triliun, perorangan Rp4.019,8 triliun, dan lain-lain yang mencakup uang pemda, koperasi, yayasan, dan swasta sebesar Rp394,3 triliun.
Sebagai info tambahan, DPK di perbankan sebesar itu sudah mengalami kenaikan 6,4 persen secara tahunan (yoy), setelah sebulan sebelumnya pada Mei 2023 naik sebanyak 6,9 persen. Perkembangan tersebut dipengaruhi oleh kenaikan DPK korporasi sebesar 10,2 persen (yoy) dan perorangan yang tumbuh 4,5 persen (yoy).
Selain DPK di perbankan, BI juga mencatat likuiditas perekonomian atau uang beredar dalam arti luas (M2) pada Juni 2023 sebesar Rp8.372,6 triliun atau tumbuh 6,1 persen (yoy) pada Juni 2023, relatif sama dengan bulan sebelumnya. Perkembangan tersebut terutama didorong oleh pertumbuhan uang kuasi sebesar 9,1 persen (yoy).
Perkembangan M2 pada Juni 2023, menurut BI, terutama dipengaruhi oleh perkembangan penyaluran kredit. Penyaluran kredit pada Juni 2023 tumbuh sebesar 7,7 persen (yoy), setelah tumbuh 9,5 persen (yoy) pada bulan sebelumnya sejalan dengan penyaluran kredit produktif.
Kembali kepada soal DPK yang ada di perbankan, cukup menggelitik untuk tahu siapa saja yang punya uang sebanyak itu? Ekonom Senior Faisal Basri dalam wawancara eksklusif dengan gbn.top membeberkan siapa mereka.
Menurut Faisal, DPK di perbankan itu sebagian besar adalah milik orang kaya yang jumlahnya terus meningkat. Ia mengatakan mereka adalah orang yang memiliki kekayaan di atas 1 juta dolar AS. Jumlahnya saat ini mencapai 171.000 orang, naik dari 116.000 orang pada saat sebelum pandemi Covid-19 merebak
Untuk diketahui, bank mengelompokkan pemilik rekening ke dalam beberapa kategori. Kelompok paling bawah adalah nasabah dengan simpanan dana kurang dari Rp100 juta, termasuk di dalamnya mereka yang punya saldo hanya Rp10.000, masuk di golongan ini.
Kelompok kedua, adalah nasabah yang memiliki uang di bank Rp100 juta-Rp200 juta. Kelompok ketiga, memiliki dana Rp200 juta-Rp500 juta, dan kelompok tertinggi adalah mereka yang memiliki uang di atas Rp5 miliar.
Dari semua kelompok tersebut, 90 persen lebih adalah rekening masyarakat di bawah Rp100 juta. Jumlah rekeningnya naik terus, tapi nilai tabungannya hanya 12 persen dari seluruh DPK di perbankan.
Faisal menyebutkan ada fenomena menarik di sini. Orang yang mempunyai tabungan di bawah Rp100 juta malah naik. Mereka adalah yang awalnya memiliki tabungan Rp100 juta – Rp200 juta. Namun selama pandemi Covid-19 tabungan mereka terkuras hingga masuk ke kelompok Rp100 juta ke bawah.
Pandemi Covid-19 membuat mereka yang memiliki tabungan Rp100juta – Rp200 juta dan Rp200 juta – Rp 500 juta juga ikut turun nilainya sehingga masuk ke kelompok di bawahnya. Ini banyak dialami kelas menengah.
Sementara itu, rekening di atas Rp5 miliar jumlahnya hanya 0,03 persen dari total rekening yang ada di perbankan tetapi nilai uangnya di atas 50 persen dari total DPK. Jika DPK perorangan di perbankan sebesar total Rp4.019,8 triliun, orang kaya yang hanya 0,03 persen menguasai lebih dari Rp2000 triliun.
Melihat fenomena ini maka tidak berlebihan jika masyarakat mengatakan yang kaya makin kaya, yang di bawahnya makin mantab alias makan tabungan.