Pemerintah diminta menjaga dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi ke depan dengan mengoptimalkan kinerja perekonomian dalam negeri di tengah surplus APBN semester I 2023 yang diikuti oleh perlambatan ekonomi global.
“Untuk menjaga target pertumbuhan ekonomi pemerintah perlu mengakselerasi belanja APBN ke sektor produktif termasuk belanja daerah, meningkatkan dukungan kredit perbankan, menjaga daya beli, dan memastikan penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan,” ujar Eko Listiyanto, Wakil Direktur INDEF, dalam diskusi publik bertajuk “Surplus APBN Buat Siapa? Evaluasi Realisasi APBN Semester I 2023” yang digelar pada awal pekan ini.
Seperti diketahui, Kementerian Keuangan mengeluarkan Laporan Realisasi APBN Semester I Tahun 2023. Dari laporan tersebut terungkap realisasi APBN Semester I 2023 mengalami surplus sebesar Rp152,3 triliun.
Riza Anisa Pujarama, Peneliti Center of Macroeconomics and Finance INDEF, membeberkan terjadinya surplus APBN pada semester I 2023 karena realisasi belanja negara mencapai 41 persen, sementara realisasi penerimaan negara sebesar 57,2 persen.
Menurut Eko, perlambatan ekonomi global dapat dipicu oleh performa ekonomi AS dan China yang memegang proporsi terbesar dari PDB dunia. Ekonomi China mengalami perlambatan di triwulan II dan pertumbuhan ekonominya belum pulih sejak pandemi. Begitu pula USA yang juga mengalami perlambatan dalam triwulan I 2023.
Perlambatan ekonomi juga terlihat pada tingkat suku bunga dan harga komoditas energi. Di sisi lain, terdapat kecenderungan kenaikan harga komoditas pangan. “Ekonomi global memang selalu bergejolak, sehingga perlu ada upaya untuk mengantisipasi hal tersebut.”
Andry Satryo Nugroho, Kepala Center of Industry, Trade, and Investment INDEF, mengakui jika pendapatan negara mengalami pertumbuhan dibandingkan tahun lalu. Namun menjadi catatan bahwa penerimaan pendapatan tersebut didominasi oleh penerimaan perpajakan yang tumbuh sebesar 78 persen yang pertumbuhannya lebih rendah dibandingkan tahun lalu.
Pertumbuhan penerimaan pajak sektoral dari industri pengolahan, misalnya, turun sangat signifikan dibandingkan 2022 yang mencapai 51,6 persen, sementara pada 2023 hanya 8 persen. Selain itu, kontribusi perpajakan sektoral dari sektor industri pengolahan juga mengalami penurunan dari 28,7 persen pada tahun 2019 menjadi 27,4 persen pada tahun 2023.
“Hal ini menjadi catatan bahwa program hilirisasi industri belum bisa mendorong penerimaan perpajakan dari sektor industri pengolahan,” ujar Andry.
Di sisi lain, kinerja ekspor dan impor Indonesia pada sektor industri pengolahan sama-sama mengalami penurunan. Ekspor industri pengolahan turun sebesar 10 miliar dolar AS dan impor bahan baku yang dapat mencerminkan proses produksi industri pengolahan juga turun sebesar 10 miliar dolar AS.
Dengan kondisi perdagangan China yang sedang melambat, kinerja ekspor dan impor Indonesia diperkirakan akan terpengaruh mengingat Negara tersebut merupakan mitra dagang terbesar.
Hal lain yang perlu dicermati adalah turunnya penerimaan cukai yang signifikan, kata Andry, yang merupakan buah hasil dari penurunan cukai dari industri tembakau. Kebijakan tarif cukai dan UU Kesehatan berpotensi menghilangkan penerimaan cukai sebesar Rp 15-20 triliun.
“Apakah pemerintah siap kehilangan penerimaan tersebut dengan bayaran masyarakat Indonesia banyak yang berhenti merokok? Perlu dipikirkan baik-baik,” ujarnya.
Untuk itu Andry mengingatkan perlunya koordinasi dan sinergi kementerian dan lembaga (K/L) pemerintah dalam mengantisipasi penurunan kinerja sektor industri tembakau.
Mengenai detail realisasi belanja dan penerimaan negara pada APBN semester I 2023, Riza menjelaskan sedikitnya 11 K/L menunjukkan penyerapan belanja dibawah 30 persen dan sebanyak 31 K/L mencatatkan penyerapan belanja di atas 41,7 persen.
“Belanja yang paling tidak terserap berdasarkan fungsinya adalah pendidikan, yaitu sebesar 29,7 persen. Padahal, berdasarkan RPJMN, fungsi pendidikan menjadi visi utama,” ujar Riza.
Menurut Riza, realisasi belanja pendidikan pada semester I 2022 tercatat sebesar 30,5 persen.
Berdasarkan jenisnya, realisasi paling rendah adalah belanja pemerintah pusat yang hanya sebesar 29,7 persen. Padahal belanja ini dapat memberikan multiplier effect terhadap perekonomian. Selain itu, subsidi juga realisasinya hanya 32,1 persen, terpaut cukup jauh dari angka 50 persen.
Riza berpendapat surplus APBN perlu segera dibelanjakan untuk sektor produktif agar dapat mendorong pertumbuhan ekonomi.