Pemerintah Diminta Tak Ceroboh Suntik Modal ke BUMN, Bisa Menguap

Penyertaan Modal Negara (PMN) ke BUMN harus dilakukan secara akurat. Jangan sampai uang negara yang disalurkan tidak kembali dalam bentuk dividen, tetapi menguap begitu saja.

Pemerintah diminta tidak ceroboh melakukan Penyertaan Modal Negara (PMN) kepada BUMN di dalam RAPBN 2024 sebesar Rp57,96 triliun di tengah lemahnya tata kelola perusahaan negara yang dapat membuat uang negara menguap, tak berbekas.

Abra P.G Talattov, Kepala Center Food, Energy and Sustainable Development INDEF, mengatakan tidak ingin kondisi APBN yang sudah membaik dan di sisi lain memiliki tantangan target pertumbuhan ke depan turut dibebani dengan adanya tuntutan untuk mengalokasikan anggaran PMN.

“Kita jangan sampai terlena di tengah kondisi fiskal yang sudah mulai membaik, terlalu ceroboh untuk mengalokasikan PMN tanpa melihat urgensinya seperti apa,” kata Abra dalam Diskusi Publik bertajuk “Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-pokok Kebijakan Fiskal (KEM-PPKF) 2024: Perlukah PMN 57 Triliun?” yang digelar secara online, Selasa (13/6/2023).

Turut berbicara pada diskusi tersebut Ariyo DP Irhamna, Peneliti Center Industry, Trade and Investment INDEF dan Aviliani, Peneliti Senior INDEF.

Abra menegaskan, untuk tahun 2024, alokasi PMN harus dilakukan secara akurat sehingga jangan sampai PMN yang disalurkan tidak kembali dalam bentuk dividen tetapi menguap begitu saja, tidak berbekas di tengah persoalan tata kelola BUMN yang masih cukup menantang.

Menurut Aviliani, BUMN cukup banyak jumlahnya namun hanya 6 perusahaan yang memberikan kontribusi besar, yakni empat bank plat merah, Telkom, dan Pertamina. Selebihnya memberikan sumbangan yang tidak terlalu besar.

Bagi BUMN yang go public yang sebagian sahamnya dimiliki oleh publik cenderung memiliki kontrol yang ketat. Bank BUMN, misalnya, diawasi oleh publik dan juga OJK, kinerjanya jauh lebih baik.

BUMN yang tidak go public yang menjadi problem sekalipun ada UU BUMN yang menyatakan perusahaan negara harus menjalankan tata Kelola yang baik (GCG). Tapi buktinya banyak sekali BUMN yang melakukan korupsi, melakukan rekayasa keuangan tapi baru belakangan diketahui.

Hal itu menunjukkan GCG di BUMN tersebut tidak jalan yang bisa bersumber dari proses pengawasannya yang tidak berfungsi sekalipun di dalamnya ada BPK, BPKP. “Di sini proses governance harus diperbaiki.”

Selain tata kelola yang lemah, BUMN memiliki PR lain. Ariyo mengatakan BUMN memberikan pemasukan (kontribusi fiskal) kepada negara berupa pajak, PNBP, dan dividen. Kontribusi fiskal BUMN tidak tercapai pada 2021. Dari target Rp413 triliun hanya terealisasi Rp363 triliun. Sementara itu, porsi laba BUMN semakin mengecil di struktur PNBP pada periode 2005-2023. “Ini perlu digaris bawahi terus menerus terkait kontribusi BUMN terhadap fiskal.”

Abra mengajak kepada masyarakat untuk setiap waktu mengkritisi, tidak menerima begitu saja usulan yang diajukan oleh Kementerian BUMN. Masyarakat perlu melihat sejauh mana urgensi usulan PMN terhadap masing-masing BUMN. Efektivitas dari PMN harus ditagih dan menjadi salah satu pertimbangan pemerintah untuk mengalokasikan PMN di masing-masing BUMN.

Selama masa pandemi ekonomi Indonesia  mengalami kontraksi dan tentu pada tahun yang penuh tantangan itu BUMN mengalami tekanan sehingga pemerintah pada tahun awal terjadi pandemi banyak memberikan dukungan kepada BUMN.

Namun sekarang kondisinya sudah terjadi pemulihan, menurut Abra, sehingga akan terrefleksi pada kinerja BUMN ke depan. Tidak ada lagi alasan bagi BUMN bahwa mereka memerlukan dukungan pemerintah yang berlebihan karena situasi ekonominya sudah mulai pulih.

Jurnalis GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com