Baru-baru ini publik ramai oleh isu bahwa Project S Tiktok mengancam UMKM. Menteri Koperasi dan UKM menyinggung bahaya hadirnya Project S TikTok yang dapat “membunuh” UMKM. Proyek ini dituding dapat merugikan UMKM karena dapat dimanfaatkan untuk mengimpor barang sebanyakbanyaknya dari China ke Indonesia.
Di samping itu, Indonesia belum memiliki regulasi yang mengatur social commerce atau transaksi perdagangan melalui media sosial. Oleh karena itu, adanya kemudahan dalam melakukan transaksi barang lintas negara melalui aplikasi media sosial dapat menimbulkan kekhawatiran pelaku bisnis lokal.
Masalah ini dibahas dalam satu diskusi bersama ekonomi INDEF yang digelar Senin (24/7/2023) untuk mencari penyelesaian yang adil bagi UMKM yang terancam eksistensinya oleh kehadiran Project S Tiktok. Benar bahwa pelalu UMKM perlu meningkatkan daya saing, namun sebagai penopang ekonomi nasional, mereka harus dilindungi.
Masuknya Project S Tiktok ke Indonesia tinggal menunggu waktu. Nailul Huda, Peneliti Center of Digital Economy and SMEs - INDEF, mengungkapkan perkembangan Social Commerce di ASEAN dan Indonesia mengalami peningkatan yang pesat sehingga butuh peraturan terutama terkait dengan industri serupa seperti e-commerce dan ritel offline.
Survei populix (2022) menunjukan bahwa TikTok merupakan aplikasi social media terpopuler yang juga menyediakan fitur jual beli. Penggunaan fitur tersebut memiliki kelebihan dibandingkan dengan e-commerce sebab tidak ada biaya bagi seller, kemudahan interaksi, dan penawaran iklan.
Mudahnya penjualan via social commerce juga mendorong peningkatan impor. Akibatnya banyak seller yang tidak menjual produknya sendiri melainkan produk import.
Oleh karena itu, menurut Nailul, diperlukan revisi Permendag no 50 Tahun 2020. Pertama, penyempurnaan definisi penyelenggara perdagangan melalui sistem elektronik yang hanya mengatur “transaksi perdagangan” karena social commerce bukan untuk transaksi perdagangan melainkan komunikasi secara umum.
Kedua, perlu ada peraturan terkait dengan penyelenggara sarana perantara karena sering digunakan sebagai kedok social commerce untuk dalih bukan tempat jual beli. Ketiga, peraturan mengenai barang impor dimana harus ada deskripsi barang di setiap jendela barang agar ada data mengenai produk impor bisa dideteksi, sehingga kebijakan bisa lebih terukur.
Menurut Izzudin Al Farras, Peneliti Center of Digital Economy and SMEs – INDEF, Tiktokshop merupakan Social Commerce asal China yang menggabungkan antara fitur e-commerce dengan platform media sosial.
Terdapat dua isu pada Social Commerce. Pertama adalah isu perlindungan data pribadi. Data yang diambil pada media sosial digunakan untuk perdagangan pada e-commerce.
Pemerintah perlu mengakselerasi peraturan turunan dari Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) agar data pribadi konsumen menjadi aman dan dapat dipertanggungjawabkan oleh para pengelola data pribadi, termasuk oleh platform Social Commerce.
Isu kedua adalah isu kesamaan level of playing field antara produk yang dipromosikan Social Commerce dengan produk UMKM lokal.
Data yang digunakan Tiktok sebagai sosial memudahkan Tiktokshop sebagai e-commerce untuk mengetahui preferensi konsumen Indonesia. Kemudian, data tersebut digunakan Tiktok untuk bekerja sama dengan perusahaan China dalam memasarkan dan menjual produk secara murah dan mudah kepada konsumen Indonesia.
Terlebih, dengan jumlah audiens Tiktok di Indonesia sebesar 99,07 juta orang per April 2022, penjualan Tiktok di Indonesia Rp228 miliar pada 2022, dan rencana Investasi Tiktok di Indonesia dalam 5 tahun ke depan sebesar 10 miliar dolar AS, sementara penjualan Tiktok di Dunia mencapai 2,5 miliar dolar AS.
Dengan rencana investasi Tiktok di Indonesia serta jumlah UMKM yang berjualan di Tiktokshop sebanyak 2 juta UMKM, maka pemerintah harus segera merampungkan revisi Permendag 50/2020 agar dapat melindungi produk UMKM lokal.