Pakar digital forensik Rismon Hasiholan Sianipar menyesalkan ketidakhadiran Joko Widodo alias Jokowi dalam gelar perkara khusus yang dilaksanakan Bareskrim Polri. Seharusnya mantan Presiden RI itu hadir dengan membawa ijazah yang selama ini disebutnya asli.
Saat memberikan keterangan usai gelar perkara khusus di Gedung Bareskrim Polri, Jakarta, Rabu 9 Juli 2025, Rismon juga menyayangkan ketidakhadiran pihak Universitas Gadjah Mada (UGM). Padahal menurutnya, saat gelar perkara khusus bisa digunakan untuk menjelaskan perihal tuduhan ijazah palsu milik Jokowi.
“Kami sangat kecewa dengan ketidakdatangan dari Pak Jokowi yang membawa ijazah katanya asli, katanya lulusan UGM. Dan ketidakhadiran pihak UGM juga yang seharusnya bisa menjelaskan atau memiliki kesempatan yang sangat luas untuk meyakinkan publik," katanya.
Terkait pelaksanaan gelar perkara khusus, Rismon menegaskan Direktur Tindak Pidana Umum (Dirtipidum) Bareskrim Polri kalah telak lantaran tidak bisa menunjukkan ijazah asli milik Jokowi. Bahkan menurut alumni UGM ini, bukan hanya ijazah asli dalam wujud fisik atau analog, dalam bentuk digital pun Bareskrim tidak bisa menunjukkan.
“Dan pada kesempatan ini memang kelihatan. Pihak Dirtipidum itu kalah telak. Kalah telak dalam arti, bahwa menunjukkan nggak usah ijazahnya Pak Jokowi dalam versi analog, versi digital pun tidak berani menunjukkan kepada kami dalam monitor,” ujarnya.
Rismon menegaskan tindakannya 'menelanjangi' Dirtipidum bukan karena benci. Sebaliknya tindakan itu bukti kecintaanya terhadap Polri.
“Betapa menakutkan fakta itu kepada Pak Dirtipidum dan tadi ya kami telanjangilah habis-habisan. Laboratorium forensik Bareskrim terpaksa kami telanjangi bukan karena kami benci, tetapi kami menginginkan forensik yang bermartabat, independen, tidak diatur, tidak dimanipulasi,” ungkap Rismon.
Peraih gelar Doktor dari Universitas Yamaguchi, Jepang ini ingin Polri semakin independen dan tidak bisa diintervensi oleh siapapun dalam menangani sebuah perkara. Bahkan, Kapolri pun seharusnya menurut Rismon tidak boleh punya otoritas mengatur hasil forensik.
Kalau bisa tiga lembaga khusus forensik. Jadi Kapolda, Kapolri. Atau atasan-atasan mereka itu tidak bisa mengintervensi, mengatur-ngatur hasil,” ucap Rismon.
Dosen Universitas Mataram ini pun menyarankan lembaga forensik tidak lagi berada di bawah kepolisian. Sehingga bisa menjadi lembaga independen yang lebih dipercaya publik.
“Oleh karena itu sebenarnya kalau didengarkan oleh Pak Presiden Prabowo, sebaiknya, lembaga forensik itu harus dikeluarkan dari kepolisian. Supaya menjadi lembaga independen yang dipercaya oleh publik,” imbuh Rismon.