Sekjen PBB: Krisis Utang Hancurkan Separuh Dunia Kita

PBB menyebut kondisi dimana negara-negara membelanjakan lebih banyak untuk pembayaran bunga utang daripada untuk pendidikan atau kesehatan sebagai sebuah kegagalan sistemik. Indonesia masuk di dalamnya?

Sekjen PBB Antonio Guterres sedang menyampaikan pidato
Sekjen PBB Antonio Guterres/Foto PBB/Mark Garten

Sekjen PBB Antonio Guterres mengungkapkan sekitar 3,3 miliar orang – hampir separuh umat manusia – tinggal di negara-negara yang membelanjakan lebih banyak untuk pembayaran bunga utang daripada untuk pendidikan atau kesehatan.

Namun, karena sebagian besar utang yang tidak berkelanjutan ini terkonsentrasi di negara-negara miskin, utang tersebut dinilai tidak menimbulkan risiko sistemik terhadap sistem keuangan global.

“Ini adalah fatamorgana,” kata Guterres dalam akun Linkedin-nya yang dipublikasi pada 13 Juli 2023 seperti dipantau gbn.top

Menurutnya, dengan 3,3 miliar orang yang terkena dampak maka statusnya lebih dari sekadar risiko sistemik. “Ini adalah kegagalan sistemik.”

Pasar mungkin belum menderita. Tetapi orang-orang sudah mengalaminya, seperti yang ditunjukkan oleh laporan terbaru kami, kata Guterres

Beberapa negara termiskin di dunia dipaksa untuk memilih antara membayar utang atau melayani rakyat mereka.

Pada tahun 2022, utang publik global mencapai rekor 92 triliun dolar AS. Negara-negara berkembang memikul jumlah yang tidak proporsional.

Rata-rata, negara-negara Afrika membayar pinjaman empat kali lebih banyak daripada Amerika Serikat dan delapan kali lebih banyak daripada kawasan ekonomi Eropa yang paling kaya.

Sebanyak 52 negara – hampir 40 persen negara berkembang – berada dalam masalah utang yang serius.

“Ini adalah salah satu akibat dari ketidaksetaraan yang tertanam dalam sistem keuangan global kita yang sudah ketinggalan zaman, yang mencerminkan dinamika kekuatan politik dan sosial di era ketika sistem itu diciptakan.”

Menurut Guterres, sistem itu belum memenuhi mandatnya sebagai jaring pengaman untuk membantu semua negara mengelola rangkaian guncangan tak terduga saat ini – pandemi, dampak buruk dari krisis iklim, dan invasi Rusia ke Ukraina.

“Utang adalah alat keuangan penting yang dapat mendorong pembangunan dan memungkinkan pemerintah untuk melindungi dan berinvestasi pada rakyatnya. Tetapi ketika negara-negara terpaksa meminjam untuk kelangsungan ekonomi mereka, utang menjadi jebakan yang hanya menghasilkan lebih banyak utang.”

Laporan kami tentang krisis yang sedang berlangsung ini juga menawarkan peta jalan menuju stabilitas keuangan global – peta jalan yang telah dikemukakan dalam Ringkasan Kebijakan kami tentang reformasi Arsitektur Keuangan Global dan Stimulus SDG.

Reformasi mendalam pada sistem keuangan global tidak akan terjadi dalam semalam. Tetapi ada banyak langkah yang dapat kita ambil sekarang:

Pertama, menyusun mekanisme penyelesaian utang yang efektif yang mendukung penangguhan pembayaran, jangka waktu pinjaman yang lebih lama, dan suku bunga yang lebih rendah, termasuk untuk negara berpenghasilan menengah yang rentan.

Kedua, meningkatkan skala pendanaan bagi pembangunan dan iklim dengan menaikkan modal dasar dan mengubah model bisnis Bank Pembangunan Multilateral.

Ketiga, melakukan koordinasi yang lebih kuat antara bank-bank untuk mengubah pendekatan mereka terhadap risiko tanpa kehilangan peringkat kredit triple A mereka, sehingga mereka dapat menyalurkan pembiayaan swasta secara besar-besaran dengan biaya yang terjangkau bagi negara-negara berkembang.

Agenda Bridgetown yang dipimpin oleh Perdana Menteri Mia Mottley dari Barbados dan pertemuan puncak baru-baru ini yang diselenggarakan oleh Presiden Macron dari Prancis menghasilkan proposal penting lainnya. KTT G20 yang akan datang adalah kesempatan untuk membawa ide-ide ini ke depan.

Menurut Guterres, melakukan tindakan tersebut tidak akan mudah, “tetapi itu penting, dan mendesak.”

Posisi Indonesia

Sekjen PBB tersebut tidak menyebutkan negara-negara yang membelanjakan lebih banyak untuk pembayaran bunga utang daripada untuk pendidikan atau kesehatan yang diistilahkannya sebagai sebuah kegagalan sistemik.

Indonesia--dalam realisasi APBN 2022—mencatat belanja kesehatan sebesar Rp176,7 triliun, lebih rendah dari pembayaran beban bunga pinjaman yang mencapai Rp386,3 triliun.

Dengan UU Kesehatan yang baru, anggaran untuk bidang kesehatan dalam APBN diperkirakan akan terpangkas lagi karena tidak ada alokasi belanja kesehatan pemerintah pusat (mandatory spending), sementara di sisi lain beban bunga pinjaman akan bertambah.

Jurnalis GBN

Tentang GBN.top

Kontak Kami

  • Alamat: Jl Penjernihan I No 50, Jakarta Pusat 10210
  • Telepon: +62 21 2527839
  • Email: redaksi.gbn@gmail.com