Budayawan Erros Djarot mengungkapkan rasa sedih, geram dan marahnya menyaksikan nasib miris nelayan yang sumber penghidupannya berkurang bahkan nyaris punah, yang salah satu penyebab karena rusaknya lingkungan di sekitar mereka akibat penambangan yang terlihat tidak mempedulikan aspek lingkungan dan kehidupan di sekitarnya.
Hal ini dia ungkapkan setelah menyaksikan film dokumenter “Angin Timur” di Gedung Gerakan Bhinneka Nasionalis (GBN) pada Kamis, 17 Agustus 2023, malam. Nelayan di Pesisir Trenggalek yang menjadi objek film hasil tangkapannya terus berkurang dan kini tinggal nyaris 10 persen saja dibanding masa jayanya.
Kerusakan hutan yang menyebabkan banjir lumpur di pesisir laut, rusaknya terumbu karang, pencemaran limbah, hilangnya biota laut, langka dan mahalnya BBM kini terbentang jelas di depan mata. Belum lagi rencana pembukaan lahan untuk tambang emas baru di hutan yang belum tereksploitasi menjadi gambaran mimpi buruk berikutnya.
“Ternyata kita tidak sedang baik-baik saja. Pada UUD 1945 Pasal 3 ayat 3 jelas ditegaskan, “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat.” Kita telah dibohongi,” ungkap Erros.
Ternyata yang menikmati kekayaan dan sumber alam hanya segelintir orang saja, dan sebagian ada di pusat lingkaran kekuasaan. Sementara masyarakat, khususnya nelayan, kehidupannnya makin memprihatinkan, serta sumber pendapatannya terus saja berkurang.
Acara nonton bareng dan diskusi film Angin Timur yang diadakan DPP GBN ini menampilkan pembicara budayawan Erros Djarot, yang juga Ketua Umum GBN, analis perubahan iklim Amanda Katili, dan ekonom Edgar Ekaputra, serta wakil dari Tim Ekspedisi Indonesia Baru sutradara Dandhy Laksono dan videographer/periset film Farid Gaban. Diskusi dipandu moderator dari DPP GBN Lukas Luwarso.
Film yang berdurasi sekitar 1 jam 40 menit ini diproduksi Tim Ekspedisi Indonesia Baru yang disutradarai duet Yusuf Priambodo dan Dandhy Laksono ini memotret sejumlah masalah yang menjerat nelayan di tanah air.
Dari cuaca buruk, kenaikan harga BBM, limbah yang mencemari lingkungan, hingga persaingan antar-kapal nelayan, terutama cantrang. Namun di antara semua itu, ada satu masalah terbesar yang bahkan bisa melenyapkan kampung-kampung nelayan dan generasi nelayan. Bukan faktor alam, melainkan faktor manusia dan bahkan politik.
Akan tetapi, realita berkurangnya hasil tangkapan bukan semata akibat rusaknya lingkungan akibat penambangan, kelangkaan dan mahalnya harga BBM, konflik antar kapal nelayan, dan masalah politik lokal dan nasional seperti diungkapkan dalam film ini, namun juga pengaruh supply dan demand pada tingkat regional dan global, serta adanya pengaruh perubahan iklim. Hal ini diungkap dan dipaparkan oleh analis perubahan iklim, yang rajin menulis tiap minggunya di GBN.top, Amanda Katili.
Dalam kesempatan yang sama, ekonom Edgar Ekaputra mengatakan inilah akibatnya jika pemerintah hanya memprioritaskan pertumbuhan ekonomi dari sudut makro bukan mikro.
“Jika makro ekonomi bagus belum tentu mikro ekonominya akan bagus, namun jika mikro ekonomi bagus sudah pasti makro ekonominya akan bagus juga,” tegas Edgar.
Memperkuat pernyataan Amanda Katili, Erros Djarot mengajak agar kita tidak hanya sekadar berkata-kata, atau bahkan hanya menyalahkan pemerintah semata, namun harus ikut berpartisipasi, bergerak dengan langkah nyata, berbuat sesuai dengan kemampuan dan keahlian masing-masing untuk memperbaiki keadaan.
Selain itu, menurut Erros, siapa pun yang berkuasa jika sistem tidak diperbaiki, kerusakan akan terus dan terus berlangsung.