Demokrasi tak jarang diterjemahkan sebatas pemilihan umum. Tafsir ini tidak salah karena pemilu adalah perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau daerah dalam periode tertentu. Di sini rakyat menyalurkan hak sosial dan politik mereka.
Melalui pemilu rakyat bebas menggunakan atau tidak haknya untuk memilih wakil mereka di DPR, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, bupati/walikota, gubernur, dan presiden.
Pada setiap penyelenggaraan Pemilu, pemilihan presiden (Pilpres) paling banyak menyedot perhatian. Masyarakat tertarik bukan pada sosoknya saja, tetapi juga pada harapan bahwa pemimpin nasional yang baru nanti semakin meningkatkan kualitas demokrasi di Tanah Air.
Di sisi lain, terpilih melalui Pilpres membuat presiden terpilih akan percaya diri bahwa dirinya menjadi pihak yang ikut membangun demokrasi karena ia lahir dari sebuah proses pemilihan secara langsung oleh rakyat.
Ditambah lagi Pilpers 2024 merupakan pemilihan presiden secara langsung yang dilakukan untuk yang kelima kalinya. Semakin bertambah jumlah pelaksanaan Pilpres dipercaya memiliki kolerasi dengan kualitas demokrasi yang semakin meningkat dan matang.
Klaim tersebut tidak berlebihan karena menurut pengukuran EIU Democracy Index, Indonesia mendapatkan skor 6,71 menempati urutan ke-52 di dunia dari total 165 negara.
EIU Democracy Index dan Freedom in the World mencatat Indonesia memiliki beberapa indeks demokrasi yang dinilai sangat baik seperti fungsi pemerintah, partisipasi politik, proses pemilu dan pluralisme, kebebasan sipil, proses pemilu, pluralisme dan partisipasi politik, fungsi pemerintah, otonomi personal, dan hak individu.
Namun itu semua belum cukup mengangkat Indonesia dari kategori "flawed democracy” alias demokrasi yang cacat. Beberapa variabel yang masih buruk adalah kebebasan berekspresi dan berkeyakinan, hak berasosiasi dan berogranisasi, aturan hukum, dan budaya politik.
Hal ini mengkonfirmasi bahwa sesungguhnya demokrasi tidak bisa dibangun melulu oleh urusan pemilihan umum maupun Pilpres. Banyak komponen di dalamnya yang juga harus ditegakkan agar demokrasi Indonesia tidak dinilai cacat. Salah satunya adalah kemerdekaan pers.
Kemerdekaan pers sebagai sarana dan hak sosial dan politik setiap individu. Karena itu ia menjadi inti (core) demokrasi. Demokrasi tanpa kemerdekaan pers seperti pepesan kosong. Tidak bisa juga dikatakan “yang penting ada kemerdekaan pers walaupun tidak ada demokrasi’ karena ini sebuah manipulasi. Dengan demikian, dalam demokrasi, kehadiran kemerdekaan pers seperti dua sisi dalam satu mata uang (two sides of one coin).
Namun dalam menegakkan kemerdekaan pers, jurnalis menghadapi sejumlah tantangan dalam menjalankan aktivitasnya seperti kekerasan terhadap jurnalis, pembatasan akses liputan di sejumlah wilayah, kriminalisasi narasumber dengan jerat Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik, dan ancaman kebebasan yang berasal dari internal media sendiri, yakni intervensi pemilik usaha pers.
Sejumlah media masa diketahui dimiliki oleh pengusaha sekaligus ketua partai politik. Kepentingan politik berpotensi mempengaruhi kebijakan redaksional dari media yang dipimpinnya. Independensinya dipertanyakan. Apalagi menjelang pemilu sangat mungkin terjadi benturan kepentingan.
Padahal secara terang benderang Pasal 1 Kode Etik Jurnalistik menyatakan, wartawan Indonesia bersikap independen, menghasilkan berita yang akurat, berimbang, dan tidak beriktikad buruk.
Masalah lain adalah yang terkait profesionalisme. Belakangan ada kenaikan signifikan dalam hal laporan masyarakat yang merasa dirugikan ke Dewan Pers. Hal ini terjadi selain karena meningkatnya kesadaran masyarakat untuk mengadukan sengketa pers, juga menyangkut soal lemahnya pemahaman mengenai etika pers oleh jurnalis.
Pers juga menghadapi masalah kesejahteraan. Tekad untuk membangun pers yang profesional sulit terwujud jika para jurnalis tidak sejahtera. Kesejahteraan jurnalis erat kaitannya dengan perkembangan model bisnis pers dan kemajuan teknologi informasi.
Permasalahan yang dihadapi pers saat ini harus dapat diatasi oleh pemimpin negara yang akan datang agar pers sebagai pilar keempat demokrasi bisa menjalankan perannya dengan baik. Dengan begitu demokrasi di Indonesia akan semakin maju dan berkualitas.