Indonesia tengah menikmati bonanza devisa hasil ekspor sumber daya alam, terutama yang berasal dari penjualan batubara ke luar negeri. Harganya yang meroket akibat kelangkaan energi menyusul perang Rusia-Ukraina menambah pundi penerimaan negara.
Namun dibalik kegembiraan mendapatkan tambahan penerimaan bagi negara, ada keprihatinan terkait dengan masih tingginya penggunaan batubara sebagai sumber energi fosil. Bahan bakar ini punya kontribusi terhadap perubahan iklim yang menimbulkan banyak bencana seperti curah hujan tinggi, musim kemarau yang berkepanjangan, peningkatan volume air akibat mencairnya es di kutub, terjadinya bencana alam angina puting beliung, dan berkurangnya sumber air.
Batubara sebagai sumber energi fosil memang bukan satu-satunya biang keladi perubahan iklim, ada faktor lain. Iklim berubah secara terus menerus akibat interaksi antarkomponennya, faktor eksternal seperti erupsi gunung berapi, paparan sinar matahari, dan ulah manusia yang melakukan alih fungsi lahan dan menggunakan energi fosil.
Sekalipun tidak menjadi faktor tunggal perubahan iklim, penggunaan batubara perlu segera dibatasi untuk membantu mengurangi dampak negatif yang ditimbulkannya. Data menunjukkan perubahan iklim kian meningkatkan kerugian dari tahun ke tahun.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)/Bappenas memprediksi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim mencapai sedikitnya Rp544 triliun untuk periode 2020-2024.
Potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim antara lain disebabkan oleh genangan pantai, penurunan ketersediaan air, penurunan produksi beras, dan peningkatan kasus demam berdarah.
Bappenas merinci kerugian tersebut berasal dari sektor pesisir dan laut sebesar Rp408 triliun, sektor air sebesar Rp28 triliun, sektor pertanian sebesar Rp78 triliun, dan sektor kesehatan sebesar Rp31 triliun.
Bencana yang terjadi pada 2020 hampir seluruhnya (99 persen) adalah bencana hidrometeorologi atau bencana yang disebabkan oleh kondisi cuaca dan iklim, seperti banjir, tanah longsor dan puting beliung. Kerugian ekonomi yang ditimbulkannya secara rata-rata sebesar Rp22,8 triliun per tahun.
Dampak perubahan iklim juga dirasakan negara lain seperti AS. Pada tahun 1980, kerugian akibat tiga bencana alam di negara itu—kekeringan, banjir, dan angin topan—masing-masing mencapai 1 miliar dolar AS.
Menurut Lembaga Atmosfer dan Kelautan Nasional AS, tahun lalu ada 18 peristiwa dimana masing-masing kejadian senilai lebih dari 1 miliar dolar AS kerugian di seluruh negeri, termasuk Badai Ian, yang bertanggung jawab atas kerusakan senilai 114 miliar dolar AS.
“Jumlah dan biaya bencana meningkat dari waktu ke waktu, karena kombinasi dari peningkatan keterpaparan, kerentanan, dan perubahan iklim,” kata Adam Smith, ahli klimatologi di Pusat Informasi Lingkungan Nasional NOAA.
Meskipun 2022 bukanlah tahun yang paling mahal dalam catatan, pada 2005 ada Badai Katrina, diikuti oleh Badai Harvey pada 2017, itu adalah bagian dari tren bencana yang semakin mahal dan merusak.
Pemanasan global telah memperpanjang musim kebakaran hutan dan membuat kobaran api lebih sering, lebih berbahaya, dan lebih meluas seperti yang terjadi tahun ini di Quebec. Udara yang lebih hangat membentuk awan yang dapat menahan lebih banyak hujan dan membuangnya lebih cepat di tempat-tempat yang tidak biasa banjir seperti yang terjadi di Vermont pada musim panas ini.
Dari semuanya, badai mendatangkan malapetaka paling besar. Naiknya permukaan laut memperburuk banjir dan kerugian gelombang badai di sepanjang Pantai Teluk dan Pesisir Timur seperti saat terjadi Badai Katrina, Harvey, dan Ian.
Sejak tahun 1980 siklon tropis bertanggung jawab atas kerusakan lebih dari 1,3 triliun dolar AS, dan mereka biasanya bertanggung jawab atas sebagian besar kerugian pada tahun-tahun terburuk. Smith mencatat bahwa biaya tahunan akibat bencana telah melebihi 100 miliar dolar AS dalam lima dari enam tahun terakhir, kecuali 2019.
“Kerentanan sangat tinggi di mana rancangan bangunan tidak cukup untuk mengurangi kerusakan,” katanya.
Ekonom yang mempelajari dampak bencana mengatakan bahwa efeknya dapat berlangsung selama bertahun-tahun atau bahkan puluhan tahun, dan banyak komunitas tidak pernah pulih sepenuhnya.
Sayangnya, meskipun bahaya meningkat, lebih banyak orang pindah ke tempat-tempat berisiko tinggi seperti daerah pesisir, hutan, dan tepi sungai, yang secara dramatis meningkatkan kemungkinan lebih banyak klaim asuransi.
“Sebagian besar pertumbuhan populasi terjadi di daerah yang rentan,” kata Smith, mencatat meningkatnya bahaya “kekeringan, perpanjangan musim kebakaran hutan di negara bagian Barat dan potensi curah hujan yang sangat deras menjadi lebih umum.”
Data NOAA menghitung kerusakan langsung akibat bencana—bangunan, jembatan, dan jalan raya yang hancur, harta benda hanyut, kerugian akibat penutupan bisnis, atau tanaman yang hancur. Tapi itu tidak termasuk biaya perawatan kesehatan, gangguan rantai pasokan atau kerugian yang disebabkan oleh degradasi lingkungan dari waktu ke waktu, kata Smith. "Perkiraan ini baru hitungan sederhana terkait dengan apa yang benar-benar hilang."
Kerugiaan akibat perubahan iklim terus meroket. Apakah kita masih akan terus melakukan hal-hal yang makin menambah kerusakan? Ada baiknya kita mendengar seruan Sekjen PBB Antonio Guterres yang mengajak warga dunia untuk mengatasi masalah ini segera karena bukti kerusakan sudah terlihat dimana-mana.