Takbiran atau ber-Takbir pada malam jelang Idul Fitri lazimnya dikumandangkan sejak masuk malam 1 Syawal pada penghujung Bulan Ramadhan hingga imam salat Idul Fitri memulai Shalat Idul Fitri. Takbiran merupakan tradisi yang telah diamalkan secara turun-temurun di negeri kita. Sudah puluhan bahkan mungkin ratusan tahun. Tradisi ini kebetulan tidak ada pertentangan dengan syariat agama (Islam). Melalui kesepakatan ulama (ijtima’) takbiran termasuk perkara yang mustahab (dianjurkan).
Lafadz Takbiran yang di-sunnahkan adalah Allāhu akbar, Allāhu akbar, Allāhu akbar. Lā ilāha illallāhu wallāhu akbar. Allāhu akbar wa lillāhil-hamd. Artinya: "Allah Maha besar, Allah Maha besar, Allah Maha besar, tiada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Allah dan Allah Maha besar.
Menurut Sayyid Sabiq, seorang Ulama Kontemporer abad 20 bermadzhab Syafi’i ---dosen Universitas Umm al-Qura, Mekkah--- dalam Kitab “Al-Wajiz fi Fiqh As-Sunnah’, bahwa mengumandangkan takbir saat Hari Raya Idul Fitri hukumnya sunnah.
Pada masa lalu, bertahun lampau, malam takbiran identik dengan pawai, konvoi massa di atas truk atau mobil-mobil pick-up membawa ‘bedug’ yang ditabuh bertalu-talu oleh remaja dan pemuda berkeliling kota hingga larut malam bahkan hingga dinihari. Tak jarang terjadi musibah kecelakaan sebagai ekses. Korbannya adalah masyarakat umum atau peserta arak-arakan itu sendiri. Sebetulnya, konvoi dan arak-arakan sambil menabuh ‘bedug’ merupakan ekspresi kemenangan umat setelah melewati puasa Ramadhan sebulan penuh. Namun, seringkali kebablasan hingga ekspresi ibadah berubah menjadi sesuatu yang memekakkan telinga dan mengganggu pengguna lalin di jalan-jalan besar maupun gang sempit.
Kini, dengan gencarnya himbauan untuk membatasi arak-arakan dan konvoi massa dari pemerintah maupun pemuka agama, maka arak-arakan dijalan-jalan dan gang sempit berganti menjadi Takbiran di masjid-masjid, musholla, surau, bahkan rumah-rumah dan perkantoran. Dari takbiran yang bersifat ‘mobile’ menjadi statis. Meski masih saja ada yang berkonvoi dan arak-arakan karena pemerintah sendiri tidak terlalu ketat membatasi. Hanya mengawasi dan memantau. Takbiran adalah ekspresi keagamaan yang secara sosiologis sangat dimaklumi oleh para pemeluk agama lain (non-muslim). Ini merupakan bentuk toleransi yang wajib dijaga dan dirawat bersama. Karena hal yang sama juga harus dipraktikan oleh kaum muslimin ketika penganut agama lain seperti Nasrani, Budha, Hindu, Konghucu sedang merayakan hari keagamaan masing-masing. Toleransi harus bersifat timbal-balik. Tak elok bila satu komunitas penganut agama hanya ingin ‘ditenggang’ oleh umat lain tapi ogah ‘menenggang’ (menoleransi). Bahkan yang lebih progresif (ideal) lagi bila dalam toleransi tersebut tumbuh semangat gotong-royong. Dan, hal itu, fenomena gotong-royong lintas iman tersebut rupanya sudah berlangsung di berbagai tempat di tanah air. Pada kondisi ini perbedaan dan keragaman sungguh merupakan rahmatan lil-alamiin dalam praktik nyata, bukan lagi wacana atau ajaran. Hal demikian tentu saja akan sangat baik bagi pembentukan imunitas sosial (baca: ketahanan nasional) yang berguna sebagai penangkal alami di tengah masyarakat terhadap paham-paham ekstrimisme keagamaan ---dalam artian berlaku bagi setiap agama yang banyak dianut--- yang sungguh tak cocok diterapkan di negeri tropis nusantara.
Selamat Takbiran sambil menikmati opor dan ketupat, “Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar wa lillahilham..!
Penulis: Bob Randilawe, Magister Sejarah Peradaban Islam UNUSIA Jakarta. Penulis buku “Politik Islam dan Perumusan Dasar Negara (Kiprah Kalangan Pesantren pada Sidang-Sidang BPUPK&PPKI).