Kepala Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (BNPP) atau Badan SAR Nasional (Basarnas) Marsekal Madya (Marsdya) Henri Alfiando ditetapkan sebagai tersangka korupsi dana komando. Hal ini setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa 25 Juli 2023. Dalam kasus ini Henri diduga menerima suap senilai Rp88,3 miliar.
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat memberikan keterangan pers di Gedung Merah Putih KPK, Kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu 26 Juli 2023 menyatakan Henri diduga menerima uang tersebut dari pihak swasta pada 2021 hingga 2023 dari beberapa proyek di Basarnas.
"Diduga mendapatkan nilai suap dari beberapa proyek di Basarnas tahun 2021 hingga 2023 sejumlah sekitar Rp88,3 miliar," kata Alexander.
Dijelaskan bahwa Henri menerima uang suap dari Letkol Afri Budi Cahyanto yang sehari-hari menjabat sebagai Koordinator Administrasi (Koorsmin) Basarnas. Afri juga dikenal sebagai asisten sekaligus orang kepercayaan Henri.
Bersama Henri dan Afri, ditetapkan pula sebagai tersangka 3 orang dari pihak swasta. Ketiganya adalah Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati Mulsunadi Gunawan, Direrktur Utama (Dirut) PT Intertekno Grafika Sejati Marilya, Dirut PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil.
Alexander menerangkan terbongkarnya suap di Basarnas bermula saat dilaksanakannya beberapa proyek pada 2023. Proyek pertama adalah pengadaan peralatan deteksi korban reruntuhan senilai Rp9,9 miliar. Kedua, proyek pengadaan public safety diving equipment dengan nilai Rp17,3 miliar. Ketiga, proyek pengadaan ROV untuk KN SAR Ganesha senilai Rp89,9 miliar.
Guna memenangkan tender 3 proyek tersebut ketiga orang pihak swasta itu melakukan pendekatan secara personal. Caranya dengan menemui langsung Henri dan Afri. Dalam pertemuan itulah diduga terjadi kesepakatan Henri mendapat uang fee 10 persen dari setiap nilai kontrak.
"Dalam pertemuan ini, diduga terjadi deal pemberian sejumlah uang berupa fee sebesar 10 persen dari nilai kontrak," ujarnya. Alexander menambahkan Henri lah yang menentukan besarnya fee yang harus diterimanya. Henri menyebut fee itu sebagai ‘dana komando.’
Ketiga orang pihak swasta itu pun menyetujui syarat tersebut asalkan berhasil mendapatkan proyek di Basarnas. Sebagai kelanjutan kesepakatan itu, Mulsunadi memberikan uang Rp998,7 juta kepada Henri melalui Marilya. Selanjutnya Roni menyerahkan Rp4,1 miliar melalui transfer bank. Tak lama kemudian, ketiga perusahaan tersebut dinyatakan sebagai pemenang tender proyek di Basarnas.
"Atas sejumlah uang tersebut, perusahaan MG (Mulsunadi), MR (Marilya), dan RA (Roni) dinyatakan sebagai pemenang tender," ungkap Alexander.
Akibat perbuatannya Mulsunadi, Marilya, dan Roni disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo Pasal 55 ayat (1) ke 1 KUHP.
Saat ini tersangka Marilya telah ditahan di Rumah Tahanan (Rutan) Gedung KPK. Tersangka Roni ditahan di Gedung ACLC KPK. Sedangkan Mulsunadi yang tidak ikut terjaring OTT diberikan ultimatum agar segera menyerahkan diri ke penyidik KPK.
Sedangkan proses hukum terhadap Henri dan Afri akan dikoordinasikan dengan Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI. Pasalnya keduanya adalah anggota TNI aktif. Hal ini sesuai dengan Pasal 42 UU KPK.