Dalam rapat kerja dengan Badan Anggaran (Banggar) DPR RI, Menkeu Sri Mulyani menyatakan bahwa setiap tambahan utang akan menghasilkan pertumbuhan ekonomi. Apakah pernyataan bendahara negara ini berdasarkan perhitungan yang matang atau untuk meligitimasi utang pemerintah yang sudah menumpuk.
Untuk membahas masalah ini, Bincang Bhinneka menghadirkan Anthony Budiawan, Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), berbincang-bincang dengan host budayawan Erros Djarot. Berikut petikannya:
Erros Djarot (EDJ): Menjelang pemilu semakin hot suasananya. Tapi yang lebih penting jangan panas yang tidak karuan tapi panas yang kira-kira membuat kita menjadi lebih cerdas. Salah satunya yang membuat agar bangsa ini lebh cerdas adalah jangan kita menelan apa saja yang dikatakan oleh salah satu orang yang dianggap paling tahu soal perekonomian, keuangan yaitu Sri Mulyani Indrawati [Menkeu].
Saya kedatangan kawan Anthony Budiawan, yang dikenal kritis. Tapi yang dibicarakan nanti tidak ada hubungannya dengan upaya menjatuhkan pemerintah atau mencemarkan nama baik seseorang.
Pak Anthony pernah bilang jangan takut dengan utang luar negeri. Itu jangan ditabukan, tidak masalah. Yang penting untuk apa dan kegunaannya lebih banyak untuk hal-hal yang meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Namun ada yang menarik ketika Sri Mulyani mengatakan bahwa utang sangat efektif meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia. Setiap tambahan utang 1 dolar AS menambah pertumbuhan ekonomi 1,34 dolar AS selama periode 2018-2022. Apa memang demikian? Tolong diberikan pencerahan.
Anthony Budiawan (AB): Banyak yang bertanya kepada saya bahwa Sri Mulyani di dalam rapat Badan Anggaran (Banggar) DPR RI mengatakan seperti itu. Banyak yang heran kok bisa utang itu dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Sri Mulyani sebagai ekonom seharusnya paham bahwa tidak mungkin utang itu mempunyai korelasi langsung, satu tambahan utang pertumbuhan ekonomi sekian. Beliau juga tahu bahwa pertumbuhan ekonomi mempunyai variabel variabel.
EDJ: Sri Mulyani memang ngomong begitu ya?
AB: Sri Mulyani memang ngomong begitu. Slide-nya ada, dikatakan seperti itu. Media juga mengatakan [mengutip] seperti itu. Kita menyesali bahwa komentar seperti itu dikeluarkan oleh seorang Menteri Keuangan, ekonom. Ini sangat fatal sekali.
EDJ: Sri Mulyani itu menteri ekonomi terbaik di Asia.
AB: Kalau terbaik tanda tanya lah [diiringi tawa].
EDJ: Ini kata [orang] umum. Karena Sri Mulyani yang berbicara orang pikir kalau gitu utang terus. Padahal tidak seperti itu?
AB: Ternyata tidak seperti itu. Utang merupakan bagian dari kebijakan fiskal. Saat itu saya mengatakan bahwa utang itu kebijakan residu, bukan kebijakan pokok. Kebijakan residu [utang] bagian dari kebijakan fiskal.
EDJ: Pembaca tidak tahu apa kebijakan residu?
AB: Kebijakan residu itu adalah kebijakan bukan utama, pokok. Ini [utang] adalah kebijakan yang tergantung dari kondisi ekonomi saat ini. Saat pandemi konsumsi jatuh. Kalau tidak ditambah dengan konsumsi pemerintah, dengan defisit, maka ekonomi akan anjlok. Defisit ini identik dengan utang.
Jadi tidak mungkin ekonomi itu bertumbuh dari utang. Ini menyesatkan, membodohi, dan juga pembohongan kepada publik dan kepada Banggar DPR.
EDJ: Apa untungnya dia [Sri Mulyani] berbohong kalau memang itu pembohongan?
AB: Saya menduga bahwa ini adalah untuk memberikan citra bahwa ekonomi kita ini baik dan memberikan citra bahwa tidak masalah dengan utang, tapi menyesatkan.
Sebenarnya tidak apa-apa dengan utang, saya juga setuju. Bahkan saya pernah menulis saat [terjadi] pandemi langsung defisit ditambahkan jadi total Rp825 triliun dari sebelumnya Rp300 triliun. Saya malah mengatakan begitu, karena saya menghitung konsumsi masyarakat bisa anjlok sampai Rp600 triliun dan itu harus dikompensasi.
Kompensasinya itu harus tepat sasaran. Pada masa pandemi itu banyak masyarakat yang kehilangan pekerjaan, nah itu harus ditambahkan. Tapi kita menyesalkan di masa pendemi itu yang menikmati itu adalah perusahaan besar. Pengurus di [tim] penanganan covid dan pemulihan ekonomi nasional itu yang menikmati.
EDJ: Kok bisa Anda mengatakan yang menikmati adalah yang tadi Anda sebutkan.
AB: Dilihat kebijakan ekonominya. Kebijakan ekonomi dengan memberikan suntikan kepada perusahaan-perusahaan. Memberikan insentif pengurangan bunga kepada perusahaan-perusahaan. Mengurangi pajak PPN sebagai insentif kepada perusahaan otomotif. Nah itu semua mereka yang menikmati.
Suntikan kepada bank yang memerlukan lilkuiditas tetapi [tingkat suku] bunga kepada masyarakat tidak terlalu turun. Mereka [masyarakat] menunda tetapi harus bayar juga. Masyarakat terbebani. Ini bukti bahwa di masa krisis ini jumlah orang kaya malah meningkat. Ada studi/report dari Swiss Bank. Masyarakat menengah bawah lebih susah.
Khusus di 2019 dibandingkan dengan 2022 jumlah rakyat miskin meningkat. Yang anehnya lagi jumlah korupsinya juga meningkat. Indeks korupsi turun dari 40 menjadi 38. Kalau begini [diartikan] belanja negara sembarangan.
EDJ: Saya tidak bicara ekonomi. Saya orang biasa. Kalau begitu versi utang yang dilakukan oleh bu Sri Mulyani ini justru malah membuat pertumbuhan ekonomi rakyat sebetulnya menurun dan pertumbuhan ekonomi orang-orang kaya meningkat?
AB: Itu benar berdasarkan report internasional, salah satunya dari Credit Suisse Bank, bahwa kekayaan orang yang mempunyai simpanan sekian itu meningkat dan yang miskin, sudah jelas, dari 2019 ke 2022 meningkat.
EDJ: Seandainya saya Sri Mulyani dan Anda di depan saya. Dengan problem seperti tadi, apa yang ingin Anda katakan kepada saya?
AB: Itu sudah banyak [disampaikan]. Di masa pandemi sudah banyak saya menulis. Mungkin tidak terbaca oleh dia [Sri Mulyani]. Siapa sih yang mau baca terus, ha ha ha. Salah satu yang saya tulis mengenai kebijakan moneter yang perlu dikritisi.
EDJ: Anda ingin mengatakan bahwa kebijakan moneter Sri Mulyani tidak pro rakyat?
AB: Kebijakan moneter bukan di Sri Mulyani, itu di Bank Indonesia. Kita lihat kebijakan ekonomi ini ada dua, fiskal dan moneter. Fiskal itu area Menteri Keuangan, moneter di area Bank Indonesia.
EDJ: Tapi mereka berdua apa tidak saling kerja sama?
AB: Mereka bukan saling kerja sama lagi. Malah independensi Bank Indonesia diamputasi dengan Perppu Corona dimana BI harus membeli surat utang negara di pasar primer yang menurut UU itu tidak boleh.
Dalam banyak hal kebijakan ini sangat salah, khususnya di masa pendemi. Contohnya, Kartu Prakerja. Orang yang di-PHK atau yang belum dapat kerja lalu mencari pekerjaan diberikan insentif training senilai sekitar Rp1-1,2 juta, tapi uangnya tidak diberikan kepada mereka.
Mereka ditawarkan training melalui platform salah satunya Tokopedia yang menikmati banyak [program Kartu Prakerja] itu. Mereka [pencari kerja] hanya [jadi tempat] numpang lewat saja. Tahap pertama saja Rp5 triliun.
EDJ: Yang mengatur hal seperti ini Sri Mulyani?
AB: Ya, ini insentif pemerintah, salah satunya adalah alokasi dari biaya itu ada di kebijakan fiskal. Tapi bisa saja, dan kita harus fair, bahwa mungkin tidak itu, karena kuasanya tidak di dia [Sri Mulyani]. Setiap kementerian menjalankan [kebijakan], ada anggarannya sendiri. Dari anggaran itu bisa aja Menteri Perekonomian, karena mereka di bawah Menko Perekonomian, kan bisa juga meminta anggaran. Jadi akhirnya siapa yang meng-approve, ya dua pihak, Sri Mulyani dan Presiden. Kuasa APBN kan presiden.
EDJ: Ini kesan ya, bahwa DPR dan Menko Perekonomian dengan Sri Mulyani tidak berkutik. Tapi kan ada Anda yang saya undang, tidak mungkin menjelek-jelekkan. Berpikir kritis kan boleh asal tidak menyerang individu. Sepanjang tidak yang kita bicarakan kebijakan. Kalau Aanda saya berikan kesempatan untuk menasehati Sri Mulyani, apa yang akan Anda katakan?
AB: Pertama, ingat saya pernah mengkritisi subsidi BBM yang katanya akan membuat APBN jebol sebesar Rp502 triliun. Saya baca di dalam APBN tidak ada segitu. Makanya saya katakan bahwa narasi ini pembohongan publik.
Lalu ada staf khusus dari Kementerian Keuangan menyerang saya di twitter, lalu saya memberikan dana dan fakta yang akhirnya dia terpojok lalu dia mengatakan bagaimana pak Anthony kalau saya undang dengan bagian lain, terutama dengan bagian kebijakan fiskal, mereka yang mengetahui alokasinya.
Saya bilang silakan. Saya bukan orang yang mengkritisi di publik lalu tidak berani diajak diskusi, karena saya pegang data semuanya. Saya katakan mau, tapi diskusinya terbuka supaya umum tahu. Jangan saya diundang sendiri lalu kemudian ada yang mengatakan pak Anthony sudah ke Kementerian Keuangan, ada apa. Ini saya tidak mau.
Seminggu kemudian saya dihubungi oleh satu organisasi yang mengajak diadakan FGD. FGD pun sebenarnya tidak terbuka tapi saya layani, karena saya ingin membuktikan bahwa saya bisa mempertanggungjawabkan statement saya. Di situ saya uraikan semua hitungan saya dan mereka semua diam saja.
Semua data yang saya kasih saya pelajari. Saya bukan orang yang bicara tanpa data karena itu membahayakan posisi kita, dibilang hoaks dan sebagainya. Dan sebagai ekonom kita juga tidak boleh berbicara seperti itu [tanpa data].
Saya bilang, kalau [harga] BBM saat itu dinaikkan, Pertalite, dari Rp7.600 menjadi Rp10.000 dan solar dari Rp5.150 menjadi Rp6.800 per liter, kenaikan pendapatan fiskal hanya Rp31,8 triliun. Jadi untuk apa dinaikkan harga yang memicu inflasi dan memicu kemiskinan.
Di lain pihak, pemerintah mendapatkan windfall profit dari kenaikan harga batu bara. Satu orang pengusaha batu bara saja, dengan peningkatan harga batu bara, kenaikannya dalam 1 tahun Rp148 triliun. Dimana keadilannya terhadap masyarakat. Kenapa begitu tega menaikkan harga BBM.
Saya memberikan hitungannya. Saya hitung selisih harga dan jumlah konsumsi sekian. Lalu dikatakan kuota naik. Sekalipun kuota naik karena subsidi hanya menambah Rp119 triliun saja, tidak banyak sampai Rp512 triliun. Dan terbukti ada di laporan keuangan realisasi APBN itu jauh dari apa yang diungkapkan saat itu oleh Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri BUMN Erick Tohir, termasuk oleh Pak Jokowi.
EDJ: Jadi Anda berani mengatakan secara tegas bahwa itu kebohongan?
AB: Ya
EDJ: Nah inilah Mbak Sri [Menkeu] Anda dengar sendiri kita ini bukan mau memanasmanasin. Sebagai rakyat harusnya kami diberikan pencerahan. Ternyata apa yang dikatakan tadi oleh mas Anthony seperti itu. Bagaimana Anda? Seorang pengusaha batu bara begitu hebat uangnya padahal batu bara itu milik negara.
Nanti kita juga bicara tentang Pasal 33 UUD karena buat saya banyak yang dilakukan oleh penyelenggara negara itu pemiskinan kepada negara, perampasan aset negara, diberikan kepada individu-individu maupun korporasi. Ini akan kita bahas secara serius.
Saya tutup begini. Ini perlu dicatat. Dulu waktu kita merebut dari Orde Baru, ada seorang ekonom yang nyentrik, mententir: ‘kalau mau bangun ini tidak usah repot-repot, kita panggil kontraktor, lalu kita bilang oke saya akan bayar dengan batu bara saya. “
Tidak seperti sekarang, negara mau membayar dengan nikel, nikel punya siapa? Sudah bukan punya negara. Batu bara punya siapa? Sudah bukan punya negara, sudah punya perorangan. Ada komentar?
AB: Mengenai Pasal 33, banyak yang dipotong. Bumi, air, dan kekayaan di dalamnya harus dikuasai negara. Banyak dipotong sampai situ. Apa yang dimaksud dengan dikuasai negara ya kita sudah kita kuasai kok. Kita memberikan konsesi itu dimaksud dengan sudah dikuasai. Kalau kita tidak memberikan konsesi kan mereka juga tidak bisa. Tetapi ada kata-kata lanjutannya, dipergunakan, digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Apa artinya sebesar-besarnya kemakmuran rakyat? bukan kemakmuran perorangan. Kita tidak bisa lagi ada interpretasi lain, harus dimiliki oleh negara. Itu saja.
EDJ: Bincang-bincang kita ini mudah-mudahan berguna. Saya ingin mengajak kepada seluruh rakyat Indonesia untuk sadar bahwa telah terjadi perampasan secara sistemik terhadap kekayaan negara oleh penyelenggara negara. Kita sebagai stakeholder harus memberikan perhitungan-perhitungan yang perlu pertanggungajawaban yang pasti. Oleh karenanya kepada seluruh rakyat Indonesia saya ajak untuk sadar akan pentingnya kita mempersoalkan pelaksanaan dan implementasi nyata dari Pasal 33 UUD 45 secara baik, benar, dan terpercaya.